My Sucks Life (pt.1)


My Sucks Life

Cast: Krystal Jung, Choi Minho, Victoria, Jung Yunho, Kim Jaejoong, etc.

Genre: Romance, Family, Teenage life

Rate: PG 17+

Author note: dasar cerita ini terinspirasi oleh kehidupan salah satu karakter utama drama seri “Glee” yaitu Rachel Berry. Mungkin bagi yang menyukai drama tersebut menemukan beberapa kesamaan di cerita ini. Tempat-tempat yang saya sebutkan di cerita ini hanya fiktif belaka.

.

.

.

“Soojung! Bangun!”

Kudengar Yunho menggedor pintu kamarku berkali-kali, kupaksa tubuhku untuk bangun dengan mata yang masih setengah terpejam seakan memaksaku untuk kembali tidur.

“Soojung!” gedor Yunho lagi.

I’m up!” jawabku malas sambil mengangkat tanganku. Bunyi gedoran itu berhenti, syukurlah! Aku meraba-raba ke bawah bantal mencari rubber bandku yang entah terlempar kemana. Setelah ketemu, segera kuikat rambutku dan bergegas ke kamar mandi.

“Soojung sayang, sarapan sudah siap!” teriak Jaejoong dari bawah. Kenapa sih hari ini harus penuh dengan teriakan? Ralat, setiap hari! Setiap hari Yunho akan membangunkanku dengan menggedor-gedor pintu kamarku dengan tangannya yang berotot, dan setiap hari juga Jaejoong memanggilku dengan teriakan manisnya untuk sarapan bersama.

Ya, Jung Yunho adalah Ayahku, dan Kim Jaejoong adalah.. ng, aku tidak yakin, tapi dia adalah Ayah keduaku. Yup benar sekali, aku punya dua orang Ayah! Bukan, bukan, Ibuku tidak menikah dengan kedua orang itu. Ibuku bercerai dengan Yunho saat umurku 7 tahun dan ia pergi entah kemana meninggalkanku dengan Yunho. Lalu setahun kemudian, Yunho menikahi Jaejoong. And yeah, kau benar, Ayahku adalah gay. Bisa dibilang dia adalah gay sejati, karena setahuku gara-gara itulah Ibu meninggalkannya. Dan sekarang disinilah aku, mempunyai dua orang Ayah gay, dan hampir setiap hari dilecehkan oleh teman-teman di sekolah. What a life!

Well, tidak masalah untukku sebenarnya jika Ayahku gay atau apa, aku juga masa bodoh dengan cercaan dan hinaan teman sekolahku. Tapi aku merasa hidupku ini membosankan, kau tahu, dimana seorang remaja berumur 17 tahun yang sedang mengalami masa puber sangat membutuhkan seorang Ibu untuk membimbingnya dan tahu apa yang harus ia lakukan. Aku hanya butuh Ibu disisiku saat ini. Memang sih Jaejoong lebih mirip seorang Ibu daripada seorang ayah, tapi dia tetap seorang pria dan tidak mengerti tentang masalah puber gadis remaja berusia 17 tahun.

Setelah selesai, aku bergegas turun dan menghabiskan  sarapan milikku bersama Yunho dan Jaejoong. Tak lupa mengucapkan selamat pagi dan mencium pipi mereka. Seperti biasa, Jaejoong akan merapikan rambutku yang kuikat asal dan berantakan.

“Kau punya rambut hitam panjang yang indah, Soojung sayang. Sebaiknya kau merawatnya.” Jaejoong selalu mengatakan itu setiap kali ia menyisir rambutku, dan aku hanya menggumamkan ‘terima kasih’ padanya. Lalu ia akan menyuapi Yunho dengan mesranya dan keduanya akan berlovey-dovey. Saat itulah aku langsung bergegas pamit pergi ke sekolah. Biasanya Jaejoong menyiapkan bekal makan siang untukku, tapi sepertinya hari ini ia lupa.

Aku melangkahkan kakiku keluar rumah dan seperti biasa bisa kulihat, pangeran kodok-ku sudah menunggu di depan rumah dengan gayanya yang cool dan cuek. Ia selalu tersenyum begitu melihatku, dan itu membuat hatiku berdegup kencang tidak karuan, senyum yang seolah ditujukan hanya untukku seorang.

Kalian tahu siapa pangeran kodok yang kumaksud? Dia Choi Minho, seorang MVP tim basket SMA-ku. Hanya dia yang tidak pernah menghinaku karena orangtuaku yang gay sejak pertama kali masuk sekolah. Dia seorang cowok yang tidak terlalu suka bicara, dan cukup pintar. Sebagai tambahan, sosoknya yang cool itulah yang membuatnya disukai para murid wanita di sekolah. Untungnya, ia bukan termasuk cowok yang besar kepala yang suka pamer pada fans wanitanya dan suka menebar pesonanya kemana-mana hingga membuat orang lain muak, sebaliknya ia malah selalu bertanya-tanya padaku mengapa para gadis menyukainya.

Aku sangat kaget ketika ia menyatakan perasaannya padaku, awalnya kami berpacaran diam-diam, tidak ada yang tahu hal ini. Hal ini sengaja kami lakukan karena Minho tak mau gadis-gadis yang mengejarnya akan mulai mem-bully ku karena masalah ini. Oh yeah, pikirkan saja apa sih keistimewaan seorang Jung Soojung hingga ia bisa bersama dengan Choi Minho.

Semula kami memang berpikir seperti ini, hanya saja dua minggu yang lalu Minho mengatakan bahwa aku adalah pacarnya dan tidak ada seorangpun yang boleh menggangguku. Kalian tahu kata-katanya saat itu membuatku merasa senang dan.. ngeri.

Pasalnya masih ada beberapa murid yang mem-bully ku. Salah satunya Kwon Yuri, seorang senior dua tahun diatasku yang menyukai Minho. Dan Choi Sulli, sepupu Minho yang tidak menyukaiku. Mereka kadang terang-terangan menghinaku di depan Minho, sampai membuat Minho menatap mereka dengan death glare-nya. Tapi tetap saja aku tidak peduli, selama Minho bersamaku, aku merasa aman. Apa aku terdengar begitu muluk mengatakan hal ini? Oke mari lupakan hal yang tadi kukatakan dan kembali ke masa kini.

Aku berjalan mendekati Minho dan ia langsung menggandeng tanganku begitu aku sudah berada beberapa langkah didekatnya. “Sudah lama?” tanyaku.

“Hmm,” ia tampak berpikir keras dan ini membuat wajahnya terlihat lucu. Membuatku ingin mencubit pipinya saking gemasnya. “Aku menunggu hampir satu jam. Sebagai gantinya, kau harus menciumku.” Ucapnya santai.

Aku memukul lengannya. “Apa-apaan kau ini, pagi-pagi sudah genit. Ayo berangkat sekarang, nanti kita telat.” Ucapku sambil menarik tangannya dan melingkarkannya di pundakku.

~*~

Satu-satunya temanku disekolah adalah Victoria, seorang anak yang selalu menguncir dua rambutnya dan memakai kacamata. Ia baik padaku, mungkin karena kita sama-sama geek. Kami sekelas dan ia duduk denganku, ia pintar dan kalau boleh jujur, ia cantik jika melepas kacamata dan menggerai rambutnya. Sayang ia tidak menyadari hal itu, ia pernah bilang padaku bahwa ia membenci rambut coklat jeraminya yang menurutnya aneh dan jelek.

“Hei Vic.” Sapaku pada Victoria begitu masuk kelas setelah berhasil kabur dari Sulli yang ingin menjambak rambutku saat aku berjalan di lorong kelas tadi. Baru saja aku ingin mendudukan pantatku diatas kursi kayu milikku, si raksasa Suzy Bae mendorongku dengan keras hingga aku kehilangan keseimbangan. Untung saja Vic dengan sigap menangkapku sebelum aku mencium lantai. Well, terima kasih untuk Victoria yang selalu menolongku di saat-saat seperti ini.

“Terima kasih,” gumamku begitu berhasil mendudukan pantatku di kursiku.

Vic tersenyum. “Kau tidak apa-apa? Rambutmu berantakan.” ucapnya sambil mengeluarkan sisir hitamnya dan memberikannya padaku. Tunggu, sejak kapan ia membawa sisir? Setahuku Victoria jarang – hampir tidak pernah malah – untuk membawa sesuatu yang berbau dengan ‘alat kecantikan’.

“Vic, kau membawa sisir? Tumben sekali,” kataku.

Wajah Vic merona. “Ng.. ya, begitulah. Aku sedang memanjangkan rambutku, jadi harus rajin menyisir.”

“Tapi, rambutmu sudah panjang Vic.”

Victoria tampak kehilangan kata-katanya. “Oh, Mr. Ryu sudah datang!”

 

Well, perfect timing. Mr.Ryu datang dan Victoria langsung terfokus pada pelajaran. Aku belum sempat menyanyakan perkara tadi lagi, mungkin memang ia sedang memanjangkan rambutnya. Lagipula bukan hal yang aneh jika seorang wanita membawa sisir bukan? Maka kulupakan saja masalah itu dan mencoba berkonsentrasi pada pelajaran Mr. Ryu.

~*~

Sekolah hari ini sangat kacau, murid-murid sedang terkena demam MONster-DAY. Mereka semua menjadi seperti monster saat mem-bully ku. Ada yang menginjak sepatuku hingga mengenai tulangku dan itu sangat terasa sakit, bahkan ada yang memberiku slushee facial dua kali hari ini. Minho sempat marah-marah dan hendak memukul murid wanita yang menginjak kakiku dan menendang tulang keringku, namun kutahan ia sekuat tenaga dan ia membantu membersihkan slushee dari wajahku.

“Mereka sudah sangat keterlaluan, Krys!” ucap Minho sedikit mengomel saat membersihkan wajahku.

“Lalu aku harus apa? Kalau aku melawan pasti mereka akan semakin mengerjaiku habis-habisan,” ujarku. Belum pernah kulihat Minho semarah ini, kasihan dia, semenjak berpacaran denganku ia jadi terus naik pitam.

“Laporkan perbuatan ini pada ayahmu.” Tegas Minho.

Mataku membesar. Mengadukannya pada Yunho atau Jaejoong? Yang ada pasti nanti Yunho memarahiku karena tidak melawan, yah aku memang tergolong anak yang lembek, aku lebih menyukai menjauhi segala perkara yang ada dan tak mau ambil pusing dengan hal itu. Meskipun Yunho sudah mengajariku beberapa ilmu bela diri, tetap saja aku paling tidak suka memakai kekerasan.

Lain lagi dengan Jaejoong, ia pasti sudah datang ke sekolah dan menyanyikan ocehannya di depan kepala sekolah. Dan yang terburuk adalah, murid satu sekolah akan menertawaiku dan menjadikanku badut abadi mereka karena kelakuan Jaejoong.

“T-tidak bisa.”

“Kenapa? Mereka orangtuamu, pasti mereka membelamu Krys.”

“Bukan begitu, aku… malu.” Aku menatap Minho, awalnya raut wajahnya menunjukkan kebingungan, namun setelah mengerti maksudku, matanya membesar.

“Kau malu dengan orangtuamu? Karena mereka gay?” tanya Minho tidak percaya.

“Minho–”

“Tapi kalau kau terus disakiti seperti ini, aku tidak tahan lagi, Soojungie! Begitu juga mereka. Sudah kubilang kan jangan pernah merasa seperti itu, mereka orangtuamu.”

“Kau tidak mengerti!” teriakku, aku menahan air mataku yang sudah berada di pelupuk mataku. Jujur, aku memang akan menjadi seorang yang melow jika sudah masuk pada pembicaraan mengenai keluargaku “Mudah bagimu untuk mengatakannya karena  kau tidak memiliki orangtua gay!”

Perkataanku seakan menohok Minho, ia terdiam, eskpresinya jelas menunjukkan kekagetan dan rasa bersalah. Aku tahu, aku tak seharusnya berkata seperti itu, tapi perkataanku ada benarnya juga kan? Terkadang aku merasa Minho tidak sepenuhnya mengerti perasaanku meskipun ia melindungiku sekeras apapun.

“A-aku harus pergi,” ucapku terbata dan bergegas meninggalkan kamar mandi. Minho masih terpaku disana, aku memang berharap ia tidak mengikutiku atau mencegahku pergi. Aku hanya butuh waktu untuk menyendiri sekarang dan memikirkan bagaimana aku bisa melanjutkan ini semua tanpa bantuan dari Minho mulai sekarang.

~*~

“Soojungie?” aku membalikkan badanku dan melihat Yunho perlahan memasuki kamarku. Buru-buru kuhapus air mataku, tapi sepertinya ia terlanjur melihatnya.

“Hei Dad,” sapaku begitu Yunho duduk di pinggir kasurku.

“Ada apa?” tanyanya halus. Yah beginilah sifat Yunho yang kusuka, meskipun ia kelihatannya gahar dan kasar, ia bisa merasakan dan mengerti bila putrinya sedang ada masalah. Hanya saja aku terlalu takut untuk mengatakan curahan hatiku padanya. Jika bisa kukatakan satu-satunya orang yang tak pernah bosan mendengarkan curahan hatiku adalah Minho, tapi setelah kejadian tadi aku belum berbicara apapun padanya. Ia juga hanya mengirim sms untuk menanyakan apa aku sudah di rumah, sudah makan, dan sebagainya.

Aku menggeleng. “Dad, bolehkah aku pindah sekolah?” tanyaku hati-hati.

“Kenapa?” Yunho mengerutkan alisnya.

“Aku.. tidak mau bersekolah di IHS lagi.”

“Alasannya?”

“Itu..” belum sempat aku melanjutkan, Jaejoong menginterupsi dengan masuk tiba-tiba kekamarku.

“Maaf mengganggu pembicaraan kalian,” ujarnya. “Tapi Soojung, Minho ada di depan.”

Mataku membesar, aku langsung lupa dengan apa yang ingin kukatakan pada Yunho karena aku langsung bergegas turun untuk menemuinya. Untuk apa ia datang kesini?

Aku melihat Minho tengah berdiri di dalam pekarangan rumahku dengan tangannya yang ia masukan ke dalam saku celananya. “Hai,” ia menyunggingkan senyuman khasnya begitu melihatku.

“Hai.” Aku balas menyapanya. Kami sempat terdiam beberapa saat, sampai akhirnya aku berdeham untuk memecah keheningan. “Kau mau masuk?”

Minho menggeleng. “Tidak usah, aku hanya ingin bicara denganmu.”

Aku mengangguk-ngangguk. “Bicaralah.”

“Ng.. mungkin tidak disini,” Minho mengusap tengkuknya, ia melihatku lalu melihat ke belakangku. Aku mengikuti pandangannya, dan aku hampir berteriak histeris begitu melihat Yunho dan Jaejoong sedang mengawasi kami dibalik pintu. Mata mereka memicing tajam menatap Minho yang kini merasa tak nyaman. Aku merutuki mereka dalam hati, kenapa sih harus mengganggu momenku dengan Minho? Dan untuk apa picingan mata mereka itu?

Aku bergegas mendorong mereka masuk ke dalam dan berpamitan untuk keluar sebentar bersama Minho sebelum menutup pintu rumah. Aku menarik tangan Minho keluar dari pekarangan rumahku. “Maaf soal Dads tadi, mereka memang seperti itu.” kataku begitu berjalan bersama Minho. Tangan kami saling bertaut, Minho menggenggam tanganku dengan erat.

“Tidak apa. Mereka.. agak unik.”

“Yeah, begitulah mereka.”

Keheningan kembali menyelubungi kami, tepat saat aku ingin memulai pembicaraan Minho pun hendak mengatakan sesuatu. “Kau duluan,” kata Minho.

“Tidak kau saja dulu, aku ingin mendengarnya,” sergahku.

“Baiklah,” Minho mengambil nafas panjang. “Aku minta maaf Soojung-ah.”

Aku menaikkan alisku, sebenarnya aku tahu ia datang untuk minta maaf soal tadi, tapi aku pura-pura terkejut.

“Soal tadi, aku memang tidak memikirkan perasaanmu, aku yang bodoh. Maafkan aku Soojung-ah,” ujarnya lagi. Terdengar penyesalan dan ketulusan dalam ucapan Minho, itulah yang membuatku selalu luluh padanya.

“Tidak apa,” jawabku sambil mengusap-ngusap lengan Minho dan tersenyum. “Aku tahu kau memang bodoh, Choi Minho, makanya aku mengerti.”

Matanya membesar dan dengan tiba-tiba ia mencubit pipiku sampai terasa panas. “Lihat kan kau jadi besar kepala.”

“Awww! Sakit Minho-ya! Lepaskan!” erangku. Ia melepaskan pipiku dengan raut kemenangan terukir di wajahnya. “Makanya jangan suka sembarangan mengejek orang.” ujarnya. Aku membalas mencubit lengannya sekeras mungkin yang membuatnya berteriak kesakitan.

“Sekarang kita impas,” ujarku tersenyum puas. Minho masih memegangi lengannya yang kucubit tadi sambil cemberut, ia bahkan tidak menatapku. Sepertinya aku terlalu kasar tadi. “Ng.. sakit ya?” tanyaku hati-hati. Ia menoleh ke arahku dengan sengit, lalu dengan cepat ia menarikku ke dalam pelukannya, memelukku erat. Aku tidak memberontak kali ini, namun ia memelukku terlalu kuat, hingga aku merasa sesak.

“Ugh, Minho aku tidak bisa bernafas.”

Minho buru-buru melepaskan pelukannya dan menggumamkan ‘sorry’. Dan kembali memelukku. Kali ini dengan lembut sambil mendaratkan kecupan di puncak kepalaku, membuatku merasa nyaman dan membalas pelukannya. Saat itulah aku tersadar bahwa aku hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek yang cukup mengekspos pahaku. Aish bagaimana aku bisa lupa mengganti pakaianku sebelum keluar bersama Minho tadi? Kalau saja Jaejoong dan Yunho tidak mengintipi kami tadi. Tapi Minho sepertinya tidak menyadari pakaianku, jadi tidak masalah.

Minho melepaskan pelukannya dan menggenggam erat kedua tanganku. “Aku punya kabar baik untukmu,” katanya sambil tersenyum.

“Apa itu?”

“Sulli sudah dipulangkan kepada orangtuanya, yang artinya ia tidak bersekolah disini lagi!” ia menyeringai senang seperti anak kecil. Alisku terangkat begitu mendengarnya.

“Benarkah? Bagaimana bisa?”

Minho melingkarkan tangannya di pundakku, melanjutkan jalan kecil kami. “Aku melaporkan kelakuannya di sekolah pada kedua orangtuaku, jadi akhirnya mereka mengembalikannya ke Busan.”

Mataku membesar mendengarnya, aku memang senang tidak ada yang menggangguku lagi, tapi apakah harus sampai seperti itu? Hanya karena aku?

“Tapi.. Minho, apakah itu tidak berlebihan? Maksudku-“

“Dia memang pantas mendapatkannya,” ucap Minho enteng. “Kau kira hanya karena ia sering menyiksamu di sekolah? Sulli itu memang anak yang tidak baik, ia sering tidak sopan pada orangtuaku, dan suka bertengkar dengan Ibu. Aku juga sering bertengkar dengannya di rumah. Orangtuaku sudah tidak tahan lagi dengannya ketika kuceritakan kelakuannya terhadapmu di sekolah. Tadi sore Ayah menelepon Paman dan Sulli akan pulang besok.”

Aku tidak tahu harus merasa apa sekarang, memang bukan semua karena aku, tapi tetap saja ada sedikit perasaan bersalah pada Sulli.

“Hey,” Minho menjentikkan jarinya di depan wajahku. “Sudah jangan dipikirkan lagi. Hmm, apa kau lapar? Aku ingin makan ramen di tempat biasa.”

Mendengar kata ramen aku langsung mengangguk-ngangguk setuju. Tempatnya tidak begitu jauh, Minho dan aku sering makan disana. Bibi penjaga kafetaria itu sampai hafal dan mengetahui nama kami. Minho langsung memesan 2 mangkuk ramen spesial saat kami tiba. Aku duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan malam ini yang begitu dingin. Sekujur tubuhku kedinginan karena tidak memakai baju panjang. Tapi untungnya kafetaria ini cukup hangat. Tak lama, ramen kami datang dan kami langsung menyantapnya, setidaknya ramen ini cukup untuk menghangatkan tubuhku.

Kami menyempatkan untuk mengobrol sebentar, dan Bibi penjaga kafe memberikan kami coklat hangat gratis sebagai bonus karena sering makan disini. Setelah selesai, kami bergegas meninggalkan kafetaria karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, aku harus segera kembali ke rumah atau Yunho akan memenggalku.

“Minho, boleh pinjam jaketmu?” tanyaku begitu berada di luar kafetaria. Minho mengamati pakaianku.

“Yah kenapa kau tidak memakai celana panjang?” Minho mengomeliku seraya membuka jaketnya dan memakaikannya ke tubuhku. Kuperhatikan matanya terus menatap pahaku yang terekspos, membuat wajahku terasa panas. Tangan kami saling bertaut tapi mulut kami terkunci rapat, tiba-tiba ia menyetop langkahnya, membuatku ikut berhenti. Ia menatapku dengan lembut, senyum kecil terulas di bibirnya. Ia merengkuh wajahku dengan satu tangannya, perlahan wajah kami makin dekat, dekat, dekat dan detik berikutnya bisa kurasakan bibirnya sukses mendarat di bibirku.

Minho selalu menciumku dengan lembut, manis dan hangat. Ciumannya adalah ciuman paling romantis yang pernah kurasakan, selalu membuat lututku lemas dan membuatku selalu meminta lebih. Biasanya ciuman kami berlanjut menjadi ciuman yang penuh nafsu, hanya saja Minho selalu bisa mengendalikan dirinya sebelum kami melangkah lebih jauh.

Kurasakan tangan Minho turun ke pinggangku dan tangan kirinya menekan lembut pahaku. Aku sadar kami sudah berada dekat rumahku dan jalanan juga sepi, tapi aku takut Yunho tiba-tiba keluar dan melihat kami seperti ini. Tangan kiri Minho naik menyentuh perutku, membuatku merinding.

“Minho,” aku mendesahkan namanya di sela-sela ciuman kami. Kurasa itu cukup menyadarkannya karena ia berhenti dan melepas ciumannya.

“Kita sudah sampai.”

Minho melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku, ia menyeka ujung bibirku yang basah karena ciuman tadi dengan jemarinya.

“Masuklah,” ucapnya setelah memberiku kecupan singkat di bibir. Aku melepas jaket miliknya sebelum masuk ke dalam.

“Selamat malam,” kataku, melambai ke arahnya.

“Selamat malam. Tidurlah yang nyenyak,” balasnya. Aku tersenyum untuk yang terakhir sebelum menutup pintu rumahku, lalu bergegas menuju kamar, tak mempedulikan tatapan Yunho dan Jaejoong yang memandangku aneh.

~*~

 

 

Author’s POV

Victoria tengah menyisir rambutnya dengan matanya yang tertuju tepat menatap cermin. Memandang pantulan dirinya yang tengah berdiri sambil menyisir rambut coklat halusnya.

Rambut coklatmu sangat berkilau, aku menyukainya.’  Terdengar kalimat seseorang yang memuji rambut coklatnya kemarin. Yah, rambut yang sangat ia benci, namun semenjak hari itu, ia mulai menyukai rambut coklat jeraminya. Ia membawa sisir setiap hari, untuk berjaga-jaga kalau-kalau rambutnya berantakan. Ia mengingat ulang kejadian di minggu siang itu, kejadian dimana ia bertemu seorang pria yang memuji rambut coklatnya.

 

-Flashback-

“Kimmy! Berhenti!” Victoria tengah mengejar adiknya yang berumur 7 tahun yang tengah berlari karena ingin segera mencapai ayunan di taman sore itu. “Gotcha!” ucap Victoria yang berhasil menangkap adik perempuannya yang nakal itu. si gadis kecil meronta, kakinya menendang-nendang udara.

 

“Tidak mau! Tidak mau!” jerit si gadis kecil.

 

“Maaf Kim, ini sudah sore dan Momma akan marah jika kita terlalu lama berada disini. Lagipula aku memiliki setumpuk tugas yang harus segera kuselesaikan, ayo cepat kita pulang.” Victoria menurunkan adiknya namun Kimmy yang nakal justru menjambak rambut Victoria sekencang-kencangnya sampai gadis itu berteriak kesakitan.

 

“Kimmy!! Lepaskan rambutku!!” Kimmy berlari sekencang-kencangnya menuju ayunan, ia bersorak gembira ketika menaikinya. Sedangkan Victoria berusaha duduk di bangku taman setelah Kimmy melepaskan rambutnya. Kepalanya menjadi pusing dan rambutnya yang berubah kusut sekarang karena jambakan Kimmy barusan. Victoria menggerutu kesal dan mengeluarkan sumpah serapahnya seraya merapikan rambut coklatnya yang ia benci, tidak sadar dengan seorang pemuda yang habis jogging sore duduk di sebelahnya.

 

Victoria melirik pemuda di sebelahnya, matanya membesar.

 

‘Mungkinkah ia..’ pikirnya.

 

Pemuda itu adalah Nickhun Horvejkul, murid kelas 2, seorang senior Vic yang ia sukai sejak pertama masuk SMA dulu. Wajah Victoria memerah, jantungnya berdegup kencang, ‘Nickhun duduk di sebelahku!! Dan apa yang harus kulakukan!!!!’ teriaknya dalam hati.

 

Dengan malu Vic mencoba menyapa Nickhun. “H-hai Nickhun,” ucapnya grogi. Nickhun menoleh, tampak bingung dengan gadis yang tidak ia kenal tengah memanggil namanya.

 

“Ya? Darimana kau tahu namaku?”

 

“Ng.. aku.. Victoria, murid IHS, adik kelasmu.”

 

“Benarkah? Kau murid IHS?”tanya Nickhun tidak percaya. “Tapi, aku tidak pernah melihatmu, ah itu tidak penting. Hai juga Vic, ng.. boleh kupanggil kau Vic?”

 

Victoria mengangguk-ngangguk seperti anak kecil. “Kau tinggal di sekitar sini Vic? Dan sedang apa kau disini?” tanya Nickhun.

 

“Euh… iya, ng… Aku menjemput adikku pulang tapi… Ia malah menarik rambutku karena tidak mau pulang,” Vic mencoba untuk tidak gelagapan namun gagal, ia malah bicara tidak karuan dan tertawa gugup.

 

“Oh, yang berambut coklat itu?” tebak Nickhun sambil menunjuk Kimmy yang masih tertawa riang dengan ayunannya yang membuatnya terbang tinggi.

 

“Darimana kau tahu?” takjub Vic. Nickhun terkekeh, “Rambut kalian warnanya sama, dan kau juga mirip dengannya.”

 

“Oh, ya kami memiliki rambut coklat yang aneh dan jelek,” gumam Victoria tapi Nickhun mendengarnya.

 

“Rambutmu indah.”

 

Vic mendongak, membelalakkan matanya tidak percaya. “Rambut coklatmu sangat berkilau, aku menyukainya,” jelas Nickhun. Victoria merasakan jantungnya berhenti berdetak, tidak hanya jantungnya, waktu sepertinya juga berhenti berputar. Apa ia tidak salah dengar? Nickhun memuji rambut coklat jerami jeleknya! Wajah Victoria makin merah seperti tomat, ia tersenyum seperti orang bodoh.

 

Nickhun beranjak dari tempatnya, sambil meregangkan kedua tangannya. “Uhm baiklah Vic, aku pulang dulu. Sampai nanti.” Ia melambai sebelum akhirnya berjalan pergi memunggungi Victoria yang masih ternganga takjub atas kehadirannya.

 

 

To be continued…

bagaimana? mungkin rada aneh ya, soalnya ini masih uji coba tapi kalau pada suka saya akan melanjutkan part 2-nya. mungkin kasus di ff saya ini kalau di Korea jarang terjadi ya, soalnya ini pasti lebih banyak di US dan negara Eropa haha tapi gapapa ya, kan intinya biar kita bisa tahu kalau hidup itu ga mulus-mulus aja, dan semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi buat para reader. hehe. Feel free to comment ^^


14 thoughts on “My Sucks Life (pt.1)

  1. Annyeong chingu. Aku suka ff-mu ini. Ceritanya berasa real-loh. Alurnya juga pas. Ga nyangka ada khuntoria juga hehe ditunggu lanjutannya chingu

    Like

  2. Minstal jjang!!! Yeyyeyyy.. So sweet sekali minstal jadi envy deh ,ahhahahaaa,, dtunggu part selanjutnya yaa 😀

    Like

  3. WOW adegan hot HOT HOT banget …. inspirasi okkey … hahahahaha 🙂 hey nak lanjutkan yaaa… hahhahaha yg lebih HOT lagi .. deeeng ^_^

    Like

  4. awwwww.. minstal.nya.. kereeeenn bgtt,, meskipun umur.quu masihh d’bawahh rating.. yahh.. buatt minstal tak apa laaaahh XD sukaaaa !!! 0,0 ini lanjutt.nya kapan sihh ?? aq nunggu lho…

    Like

Leave a comment