Happy Ending chapter 6


Cast :
SHINee – Choi Min Ho
F(x) – Krystal a.k.a Jung Soo Jung
SNSD – Jessica a.k.a Jung Soo Yeon (Krystal’s sister)
F(x) – Choi Sulli a.k.a Kim Yoo Jin
4MINUTE – Kwon Soh Hyun
SHINee – Key a.k.a Kim Ki Bum
KARA – Kang Ji Young a.k.a Kim Ji Young (Key’s sister)
F(x) – Victoria Song a.k.a Choi Hye Jin (Min Ho’s older sister)
Cameo: RHS!!!
author Shin Min young

 

Chapter 6Huh, sungguh dingin suhu diluar, sampai-sampai aku dapat melihat kepulan nafasku sendiri diudara. jalan-jalan gang mulai sulit untuk dilewati karena tertutup salju. Aku membenci salju. Salju hanya membuatku takut. Mreka terlalu putih, terlalu bersih untuk dilihat. Mereka, seperti menyindirku yang kotor.

Aku mendongak menatap langit yang sudah terlalu larut hingga hanya sedikit bintang yang terlihat. Bulanpun sepertinya sudah letih menemaniku malam ini. Malam yang dingin dan sepi.

“Hey Kau! Ki Bum, jangan melamun!”
Aku menoleh ke arah pertigaan gang. Ada tiga orang berjaket hitam tebal mengenakan masker gelap dengan hiasan perak yang menurutku norak. Sebuah lampu jalan bercahaya remang menyorot mereka dengan cukup jelas. Satu orang gendut berwajah tolol berdiri tepat dibawah sinar lampu, di sebelah kirinya berdiri dengan sok, laki-laki jangkung dengan rambut berantakan, di belakang mereka ada laki-laki berpakaian ala street boy dan rambutnya bercat merah menyala.
“Ya, kenapa diam? Kau sudah mendapatkan ‘mangsa’?”
“Aku akan mencarinya sendiri” kataku benar-benar lelah. Ya ampun, bagaimana caranya agar aku dapat berhenti dari pekerjaan bodoh ini? Mereka hanyalah tiga dari sekelompok orang yang menganggap diri sendiri sebagai penguasa jalanan. Merampok, membunuh, dan hal bejat lainnya. Tak kenal usia, laki-laki ataupun perempuan. Target mereka adalah ‘mangsa’ yang nekat keluar dari rumah lebih dari pukul 12. Aku terjebak diantara mereka dan tak tau bagaimana caranya keluar. Sial.
“Ah, terserah lah” sahut salah satu dari mereka dengan tertawa mengejek yang dibuat-buat.

Aku berjalan sendirian tanpa arah tanpa tujuan. Merasa diri sendiri seperti sebuah gumpalan kertas yang tak berguna dan siap di lempar ke tong sampah atau diinjak orang. Hal itu entah kenapa menjadi lebih menakutkan dari pada keadaan gang-gang kota di tengah malam. Bahkan jika aku bertemu dengan hantu sekarangpun mungkin aku tak akan takut.

Tuk.
Sesuatu mengenai kepalaku. Aku mengambilnya dan memperhatikan benda apa itu. Ternyata itu sebuah kerikil. Ah, pasti ada orang iseng. Aku menengok kebelakang. Tidak ada orang. Ku cabut kata-kataku, kalau bertemu hantu sekarang, aku ingin lari.

Tuk, sebuah kerikil jatuh lagi tepat didepan kakiku. Ku putuskan untuk mendongak. Ada seseorang, ia bergerak, melayang? Oh tidak, ia berjalan hati-hati di atas tembok. Tangannya melebar seperti sayap. Rambut panjangnya berkibar karena angin. Ah? Perempuan?

“Ya! Apa yang kau lakukan?” teriakku. Perempuan itu memandangku. Ia sedikit membungkuk, membuat lampu jalan menerangi wajahnya samar-samar. Saat itu juga, lidahku seperti keram. Mata bercahaya, dan senyum khasnya. Dia gadis yang sama. Malaikat yang sama.

Gadis itu menatapku tiba-tiba, membuatku hampir melompat ditempat. Sepertinya ia sadar aku telah memandang wajahnya sedari tadi. Ia tertawa kecil, merogoh saku jaket tebalnya, kemudian mengeluarkan sekaleng minuman kopi susu. Ia sedikit mendekat dan meraih tanganku. “Tadinya aku ingin meminumnya. Tapi sepertinya, kau yang lebih membutuhkannya” Dan ia meletakkan kaleng minuman itu di telapakku.

Ternyata keajaiban malam mempertemukanku kembali dengannya.

“Kau Si Laki-laki yang mau bunuh diri? Aku benarkan?”
Aku menggaruk kepalaku, sebutannya untukku terasa aneh. “Apa yang kau lakukan disitu!!?!” teriakku lebih kencang “Sekarang kau yang mau bunuh diri?!”
“Tidak” katanya dengan wajah polos “Aku hanya ingin jalan-jalan dimalam hari, dengan cara yang berbeda. Ini lebih mengasyikkan. Kau mau mencobanya?”
Aku menganga. Dia berbeda dari wanita-wanita kebanyakan yang tidak mau menghabisan waktunya hanya untuk melakukan hal ‘konyol’ seperti yang ia lakukan sekarang. Tapi aku juga sedikit bingung dengan dia. Gadis yang bisa mengubah perasaan seseorang dengan cepat. Dan entah bagaimana lagi aku bisa melukiskan sikapnya yang rumit.
“Tidak” jawabku “Setelah kau menyelamatkanku yang hampir bunuh diri, sekarang kau mau membahayakan nyawaku? Kupikir tidak”
Gadis itu tertawa. “Aku tidak pernah menyelamatkanmu” katanya lagi-lagi membuatku kaku seperti patung karena bergulat dengan pikiranku sendiri “Kau sendiri yang memutuskan-kan? Kau seharusnya berterimakasih pada dirimu sendiri.” Aku menunduk menatap bayangan hitamku dengan rasa tak menentu. “Lagi pula, hidup itu indah, tergantung dari sisi mana kau melihatnya”

Gadis itu benar, secara teori, secara fakta, memang aku yang memutuskan untuk tidak mengakhiri hidupku lebih cepat. Tapi tanpa ada dia yang mencegahku tidak mungkin___. Mencegah? Dia tidak pernah mencegahku! Dia menyuruhku lompat, tapi sesungguhnya diriku tidak mau. Mungkin Ia bisa melihat keraguan itu? Ah, kenapa aku jadi bingung begini? Gadis itu memang selalu membuatku terbelilit dengan ulasanku sendiri gara-gara perkataannya.

“Lagi pula, aku juga belum tau namamu” kataku sedikit hati-hati atau sedikit malu. Aku tidak dapat membedakan kedua perasaan itu saat ini. “Aku Kim Ki Bum. Bukan ‘Si Laki-laki yang mau bunuh diri’ ” kataku , kemudian mendongak keatas “Siapa namamu?”

Dia tidak ada.
Aku menelan ludah. Dia pergi lagi. Lagi. Entah kemana perginya. Dan kapan ia pergi? Sedetik yang lalu? Lima detik yang lalu? Atau jangan-jangan baru saja? Tapi dia pergi kemana? Malam-malam begini? Semua pertanyaan itu seperti traffic light yang tidak pernah letih berganti warna di otakku. Bahkan memikirkan jawabannya saja sudah membuatku pusing. Aku hampir memijat keningku, namun aku ingat bahwa sedari tadi menggenggam sesuatu. Itu batu kerikil yang tadi dilemparnya padaku. Kudekatkan kerikil itu kearah lampu. Bukan kerikil, tapi ternyata sebuah batu manik-manik! Batu manik-manik kecil berwarna hitam mengkilat dihiasi ukiran-ukiran halus yang membuat manik ini menjadi lebih berharga.

Yang tertinggal darinya hanyalah sekaleng kopi hangat dalam genggamanku. Aku bahkan tidak berpikir untuk meminumnya. Tapi sepertinya ia benar, aku membutuhkan minuman hangat supaya aku bisa berpikir lebih jernih lagi untuk berkompromi dengan yang namanya kematian. 

Aku tersenyum. Ia meninggalkan sesuatu lagi untukku. Walaupun aku tak mengerti ia memang membuang manik-manik itu, atau hanya___.
“Kau Si Laki-laki yang mau bunuh diri? Aku benarkan?”

Ah, dia sengaja, agar aku menengok keatas? Atau memang hanya ingin memastikan dia mengenalku? Atau sekedar Iseng?

Sungguh-sungguh gadis misterius yang mampu membuatku selalu bertanya-tanya.

***

Jong Hun keluar dari sebuah toko kecil berlabelkan “STYLISH”. Ia mengenakan baju yang barusan dibelinya. Jaket hitam tebal yang modis dan celana jeans. Terlihat casual dan sedikit berantakan karena ia terlalu tergesa-gesa memakainya. Ia menengok ke kanan dan ke kiri berharap tak ada yang memperhatikannya melempar celana dan jas abu-abunya yang seharga delapan ratus ribu dolar ke tempat sampah.

Drrtt Drrt

Ayah menelpon

“Yobosseyo”
“APA YANG KAU LAKUKAN?!” Jong Hun menjauhkan Hpnya beberapa senti dari telinga “Dasar anak gila! Cepat kembali! Ini bukan pertama kali untukmu lari seperti ini. Apa kau tidak bosan ha?!”
“Aku sudah tegaskan padamu kan,” jelas Jong Hun santai “aku tak mau dijodohkan, apa lagi dengan putri kerabat kerja ayah. Lebih baik tak pernah menikah”
“Kau gila! Kau harus mulai focus pada satu wanita baik-baik. Jangan hanya bisa membuat malu keluarga dengan meniduri banyak wanita yang tidak jelas! Masih bagus Keluarga Jung mau menerimamu Bodoh!”
“Bahkan aku tidak mengenalnya, bertemu saja belum pernah”
“Karena itu kau harus menghadiri pertemuan untuk bertemu dengannya!”
“Kalau aku tetap tidak mau?”
“Benar-benar kau___”

Klep,

Jong Hun menutup HP flipflapnya dan mematikannya.
“Huh, menyebalkan” Jong Hun berjalan beberapa langkah kearah jalan raya bermaksud menyebrang. Namun insting terlatihnya membuat ia berhenti melangkah. “Untuk saat ini, keramaian sangat tidak aman” pikirnya hati-hati “jalan –jalan gang akan mempersulit mereka untuk mencariku”
***

Brak,
Pintu kamar terbuka dengan kasar. Ki Bum yang sedang tiduran di ranjang sambil menatap ke luar jendela langsung membelalakkan matanya dengan cepat.
“Oppa, kau apakan Soo Jung onnie? Kenapa dia ingin cepat pulang dan memasang wajah aneh seperti itu?”

Ki Bum kenal suara cute itu. Ji Young. Ki Bum menghela nafas, berusaha membuat hatinya sedikit damai walaupun cara itu tak berhasil.

“Oppa!” Ji Young setengah berteriak, kesal karena Ki Bum tidak menggubrisnya sama sekali. Menolehpun tidak.

“Ji Young” kata Ki Bum lebih mirip sebuah bisikan “mungkin, mungkin Soo Jung tak akan mau menemuiku lagi”

Ji Young menganga. “Ka-kalian bertengkar?”

Ki Bum tak bergerak. Ia menutup kelopak matanya.

“Oppa, sebenarnya ada apa?” tanya Ji Young dengan suara rendah dan lembut.

Ki Bum tidak menjawab. Ji Young tak dapat memastikan, Oppanya sudah terlelap atau memang tak mempunyai jawaban untuk pertanyaannya.

“Ji Young” Ji Young terkejut, ia hampir saja keluar dari kamar Oppanya itu, tapi niatnya langsung terhenti mendadak. Ki Bum melanjutkan perkataannya tanpa membuka mata

“Perasaanku tidak enak”
***

Soo Yeon *Jessica* melepas kaca mata baca yang dikenakannya sedari tadi. Ia bersandar di kursi kerja dan memijat dahinya pelan. Soo Yeon benar-benar letih membaca dan mengoreksi berkas-berkas laporan dan hasil pertemuan klien. Kemudian ia memandang sekeliling ruang kerjanya. Tetap sama, tak ada yang berubah, sepi dan membosankan.

Kau sendiri yang memilih, Soo Jung bertunangan, atau kita menjadi gelandangan” 

tegakah aku? Sanggupkah?. Matanya terfokus pada satu benda, sebuah pigura kecil di pojok meja kerjanya. Disana terpampang foto ibunya dan dia sewaktu masih berumur 6 tahun. Ibunya cantik dan berparas lembut. Matanya bercahaya seperti mata Soo Jung. Rambutnya panjang, ikal kecoklatan seperti rambut Soo Yeon. Ia memakai baju putih dan terlihat sedang hamil sekitar tiga bulan. Soo Yeon kecil mengenakan baju berwarna soft pink dengan renda-renda berwarna hitam yang menarik, ia terlihat menggandeng tangan ibunya. Soo Yeon kecil memakai topi yang sangat besar membuat wajah kecilnya terlihat lebih kecil. Ia meringis menunjukkan sederetan giginya yang putih.

”Soo Yeon harus berjanji pada ibu” suara itu, lembut dan hangat. Suara Ibunya waktu itu terngaing kembali. [i”]jaga dan didik adikmu, agar kelak dapat tumbuh menjadi anak baik dan manis seperti Soo Yeon. Janji?”[/i]

”Ne, Soo Yeon janji!”

Soo Yeon mengambil pigura kecil tadi, memeluknya sangat erat
“Ibu,” bisik Soo Yeon dengan mata berair “apa aku harus mengorbankan adik kandungku sendiri? Apa aku bisa mengatakannya?”

Telepon Kerja Soo Yeon berdering.

“Yo-boseyo?” angkat Soo Yeon.
“Soo Yeon,”

Soo Yeon meremat handphonenya, menahan emosi. Ini suara ayahnya, kali ini dia benar-benar benci pada satu orang ini. Ingin marah setiap mengingat nama dan wajahnya, apa lagi mendengar suaranya.

“Ada apa?” tanya Soo Yeon tegas dan terlihat bijaksana dengan suaranya.
“Keluarga Choi” ujar Ayahnya seakan ada sisa suaranya tertahan di kerongkongan “Mereka menunda pertemuannya”
***

Langkah kaki dengan setengah diseret terdengar jelas dari kejuhan. Kemudian ada sesorang berbelok, muncul dari sebuah tikungan gang. Dia seorang perempuan berambut panjang dengan topi kupluk wolnya yang manis. Jung Soo Jung. Gadis itu menunduk menatap jalan di depannya tanpa semangat. Sesekali air matanya jatuh ke atas jalan setapak yang terlapisi salju.

“kalian berdua bergelut dalam bidang yang sama___”

Soo Jung mengangkat tangannya yang telah terlapisi dengan sarung tangan tebal. Ia memandang jemarinya. Ini seperti mimpi buruk. Seharusnya ia bisa tenang menghadapinya. Seharusnya ia bisa menahan tangisannya. Seharusnya. Seharusnya.

Bruk
Soo Jung jatuh berlutut. Ia meremat kepalanya, berat, sakit dan menyiksa. Jangan sekarang, kumohon

Soo Jung menumpahkan seluruh isi tasnya dengan cepat.
“Dimana-dimana” panik Soo Jung. Ia membuat buku-bukunya basah tertimpa salju. Kemudian ia mengambil sebuah botol tablet kecil, membuka tutup dan mengeluarkan beberapa tablet ke telapaknya. Entah berapa itu tapi ia menelan semua tablet yang ada di tangannya.

Soo Jung merintih dan meremat salju yang ada disekitarnya, melakukan apa saja untuk menahan rasa sakit sementara obat itu bekerja.

“Hei kau kenapa?”
Ia mengangkat kepalanya dengan sekuat tenaga. Pandangannya sedikit kabur untuk dapat mengenal jelas wajah seseorang yang sedang berdiri di depannya.
“Kau baik-baik saja?” Orang itu berjongkok didepan Soo Jung.
Soo Jung memperhatikan sosok didepannya cukup lama. Seorang laki-laki berwajah ramah dan khawatir.
“Ya! Kau tak apa-apa? Kau pucat sekali!”
“Ti-tidak” Soo Jung tersenyum menutupi rasa sakit yang menyengat di kepalanya “aku tidak apa-apa” Ia bertumpu pada lututnya, berusaha berdiri. Tapi ia terjatuh lagi, Ya Tuhan ku mohon jangan sekarang Laki-laki tadi mendekat menawarkan bantuan. Tangannya yang panjang merangkul Soo Jung dan membantunya berdiri.

***

Soo Jung membuka matanya perlahan. Dengan pandangan yang masih sedikit buram, ia memperhatikan keseluruh ruangan. Kamar yang berkelas dengan furniture marmer dan kayu yang terlihat mahal. Ia sendiri ternyata berada diatas sebuah tempat tidur besar dan mewah. Lalu suara angin yang mengetuk-ngetuk jendela dari luar entah kenapa memperuncing penglihatannya, ternyata ada sosok lain di atas sofa. Sosok itu tertidur tanpa mengenakan bantal ataupun selimut yang dapat membuatnya nyaman.

Duk…
Kaca jendela bergetar lagi. Sepertinya malam ini angin begitu kencang, dibarengi salju turun sangat lebat dan menakutkan. Dan Soo Jung tidak bisa pulang sampai esok. Dia tidak dapat membayangkan sebetapa khawatir Soo Yeon kalau ia pulang nanti.

Soo Jung turun dari tempat tidur, baju yang ia kenakan basah karena ada banyak salju yang masuk kedalam kantong dan mencair.

“Oh?” Sosok yang disofa tadi berdiri dan tersenyum ramah, meyakinkan Soo Jung bahwa dia laki-laki yang baik. “Kau baik-baik saja? Tadi kau pingsan”
Soo Jung membungkuk dalam-dalam “Terimakasih, terimakasih banyak”
“Ah,” laki-laki itu tersentak saat kaca jendela mulai bergetar lagi menahan hembusan angin yang berkekuatan hebat “Sama-sama, tapi. Sepertinya, kau tidak bisa pulang malam ini”
Soo Jung mengangguk “maafkan aku karena menyusahkanmu lebih lama”
“Ah, tidak. Aku sudah menyewa apartemen ini sejak lama, tapi baru aku tempati sekarang. Sepertinya aku butuh teman mengobrol.”
Soo Jung membungkuk lagi “Terimakasih ehh–??”
“Jong Hun, Choi Jong Hun”
“Terimakasih Jong Hun-sshi. Aku Jung Soo Jung”
Laki-laki bernama Jong Hun itu menatap mata Soo Jung, seperti mencari sesuatu.
“Kau, kau tidak merasa pernah melihatku?” tanya Jong Hun aneh.
Soo Jung mengerutkan dahinya mempertandakan kepolosannya, dia membuka mulutnya untuk bicara, tapi Jong Hun menyelanya.
“Hei, kenapa bajumu basah? Baiklah nanti coba aku carikan, siapa tau ada bajuku yang muat dengan kau”

Apartemen itu bernuansa putih. Mewah dan menyenangkan karena luas. Ditambah dengan jendela besar yang memakan tempat di dinding ruang tengah lebih banyak. Bahkan saat malam seperti ini, ruangan hanya perlu menghidupkan sedikit lampu karena mendapat sedikit pencahayaan dariluar akibat pantulan lampu-lampu jalanan. Tirainya berwarna putih dua lapis terikat sempurna di pojok-pojok dinding. Yang paling mencolok adalah ada sebuah sofa panjang berwarna merah terang dihadapkan pada sebuah meja kecil terbuat dari kayu yang mempunyai seni ukir tingkat tinggi. Cukup jauh didepannya, TV layar datar tertempel di tembok, dinamis dan tidak memakan banyak ruang. Dibelakang semua itu, ada sebuah bar kecil yang berfungsi sebagai dapur. Tiga kursi tinggi warna merah segar tertata rapi di samping meja bar. Gelas-gelas kaca berbentuk ramping bergelantungan diatas rak. Lemari kaca terpasang tinggi di dinding berisi botol-botol wine-wine tua menarik.
“Eh? Apa ini?”
Sebuah kotak besar diatas meja kayu berukir menarik perhatian Soo Jung. Ia berkeinginan untuk melihat apa yang ada didalam. Ditengoklah isinya, ternyata tumpukan foto-foto. Hasil foto yang bagus. Ada foto anak-anak kecil sedang bermain lempar salju. Nenek tua menggendong cucunya dan tertawa. Sepasang kekasih bercanda ditepi taman.

“Kalau kau tak keberatan, pakai kemejaku yang ini saja bagaimana? Tenang saja, ukurannya cukup besar untuk kau pakai.” Kata Jong Hun yang sepertinya habis mengacak-acak isi lemarinya.

“Jong Hun-sshi, kau yang memotret semua ini?” tanya Soo Jung yang masih melihat foto-fotonya. Jong Hun mendekat dan berdiri tepat dibelakang Soo Jung.

“Iya, aku bermimpi untuk menjadi fotografer. Munurutku itu pekerjaan yang menarik. Tapi sepertinya hanya bisa kujadikan hobby. Ayahku menyuruhku untuk meneruskan perusahaannya. Masalahnya aku anak tunggal. Menyebalkan sekali.”

Soo Jung mengembalikan foto-foto itu di dalam kotak. Ia berbalik mendekatkan wajahnya dan tersenyum hangat. Baru pertama kali Jong Hun melihat wanita bisa tersenyum sehangat cahaya matahari pagi seperti itu.
“Waktumu cukup banyak untuk mendalami ‘hobby’ mu itu. Menurutku, tidak ada salahnya kau mencobanyakan?”

Soo Jung menarik wajahnya mundur dan mengambil kemeja dari tangan Jong Hun “terimakasih, maaf merepotkanmu” gumamnya dan pergi ke arah kamar. Sedangkan Jong Hun masih dalam posisinya. Ia melipat tangannya penuh keyakinan.
“Gadis yang menarik” gumamnya kemudian tersenyum, senyum yang penuh arti.
***

“Min Ho! Kau melakukan note yang salah! Cobalah untuk berkonsentrasi!!” Teriak Min Ho pada dirinya sendiri. Ia mendengus sebal. Keringat mengucur dari dahinya dan wajahnya merah karena marah. Dia mendetingkan tuts piano didepannya, tapi beberapa detik kemudian pikirannya kacau lagi.

“Min Ho,” gumam Min Ho pada dirinya sendiri “ada apasih denganmu? Kenapa kau tidak bisa fokus seperti biasanya?” Ia meremat kepalanya, semua bercampur aduk, dentingan piano yang salah, wajah Bu Kim, dan, wajah Soo Jung yang hilir mudik.

Tuk… Tuk

Suara angin badai yang menghantam jendela seakan berteriak-teriak untuk mendorong Min Ho melakukan sesuatu. Ia mengambil handphone disakunya. Dengan enggan, mencari nomor kontak Soo Jung dan menelponnya. Suara terhubung, tapi Soo Jung belum juga mengangkatnya. Min Ho hampir putus asa sampai kemudian, Soo Jung mengangkat teleponnya.
“Ha-Halo?”
Min Ho terbelalak. Kenapa suara laki-laki? Apakah salah sambung? Tapi mana mungkin?
“Soo Jung-sshi?”
Diseberang hanya ada helaan nafas. Helaan nafas berat laki-laki.
“Soo Jung?” tanya Min Ho meyakinkan “Maaf ini Nomor Handphone Soo Jung-kan?”
“I-Iya benar. Tapi Soo Jung sedang ganti ba- maksudku dia ada urusan.” kata suara disebrang sana.
“Oh nanti aku menelpon lagi. Terimakasih”
“Ne…”
Klep.
Siapa itu tadi?
***

Jong Hun menggenggam erat Handphone Soo Jung di tangannya. Nama laki-laki yang tadi menelpon. Min Ho. Nama yang mirip dengan orang dalam kenangan kelam masa lalunya. Ah mana mungkin? Bukankah orang yang bernama Min Ho tidak hanya satu?

“Jong Hun-sshi?”
Suara Soo Jung terdengar dari ambang pintu kamar yang terletak cukup jauh dibelakang. Jong Hun meletakkan handphone Soo Jung ke meja tiba-tiba.
“Tadi ada temanmu yang menelpon. Min Ho, ya tadi namanya Min Ho, katanya akan menelpon lagi dan____”
“Jong Hun-sshi” sela Soo Jung sedikit malu “Apa, ini tidak terlalu pendek?”

Jong Hun menoleh kebelakang, mendapati Soo Jung dengan raut wajah tidak nyaman. Ia berdiri sambil menarik-narik ujung kemeja yang di kenakannya. Muka Jong Hun memerah melihat kemejanya hanya mampu menutupi sepertiga paha putih Soo Jung. Dan karena bahu Jong Hun yang lebih lebar __bahu laki-laki umumnya memang lebih lebar dari perempuan___ dari bahu Soo Jung membuat bagian atas kemeja kerap bergeser memperlihatkan pundak putih Soo Jung dan tali branya. Gilanya lagi, mungkin karena bewarna putih, kemeja itu ‘cukup tranparan’ untuk menunjukan lekuk tubuh Soo Jung.

“Ba-bbagaimana lagi? Ha-nya itu yang a-aku punya” gagap Jong Hun tidak dapat mengontrol detak jantungnya. Tanpa ia sadari bulir keringat sudah melewati pipinya. “Aku pindah kesini ‘mendadak'” sebenarnya aku kabur
“Ehm? Begitu ya? Apa boleh buat” Soo Jung terus memperbaiki letak kemeja yang sering bergeser-geser sambil mencoba mengetahui apa yang dilakukan Jong Hun.

“Kau sedang apa?” Ia memperhatikan laptop Jong Hun di atas meja “Boleh aku duduk?” Jong Hun mengangguk. Soo Jung mendekat ke arah sofa panjang berwarna merah mencolok yang terbuat dari kulit, dan duduk 30 senti disebelah kanan Jong Hun.

“Aku sedang melihat hasil foto-fotoku” gumam Jong Hun berusaha menutupi kegugupannya.

“Boleh aku melihat?” pinta Soo Jung dan lebih mendekat ke badan Jong Hun. Jong Hun begidik, semua jemarinya dingin. “Jong Hun-sshi, boleh aku lihat?” tanya Soo Jung lagi. Jong Hun yang menyadari bahwa dirinya sedari tadi hanya duduk terdiam sambil meremat-remat tangannya tidak jelas, akhirnya mengangguk tidak pasti. Soo Jung memutar laptop Jong Hun sedikit kearahnya.

Di layar LCDnya terdapat foto matahari terbit dari balik gedung-gedung tinggi di Seoul.
“Keren” gumam Soo Jung dan melihat foto yang lainnya.
“Hah, kau wanita pertama yang menganggap ini tidak membosankan” gumam Jong Hun “Teman-teman wanitaku menganggap ini membosankan”
“Tidak juga. Kita semua memiliki keasyikan dan keinginan yang berbeda. Aku memang tidak begitu ahli dalam menilai sebuah foto. Tapi aku bisa menilainya melalui sudut pandangku sendiri” kata Soo Jung lugas.
Gadis yang cerdas
“Kebanyakan adalah foto paras wajah orang-orang tersenyum dan tertawa.” Jelas Jong Hun.
“Ehm, aku menyukainya. Melihat orang tertawa seperti merasakan kebahagiaan mereka juga”
Jong Hun menatap Soo Jung tak percaya. Itulah tujuanku. Merasakan secercah kebahagian dari senyum dan tawa orang lain
“Soo Jung-sshi, sepertinya kita punya banyak kemiripan”

Soo Jung menatap Jong Hun dan hanya membalas perkataan Jong Hun tadi dengan seulas senyum. Senyum yang mampu membuat jantung Jong Hun rontok seketika. Ini pertama kali melihat wanita tersenyum padanya setulus itu. Kebanyakan dari mereka memakai topeng, berbuat ramah hanya untuk mengincar harta. Tapi tidak dengan gadis yang ada dihadapannya, cerdas dan jujur apa adanya.

“Aku suka yang ini” kata Soo Jung. Ia menunjuk sebuah foto dimana ada gambar bunga bermekaran sebagai backgrounddan ada perempuan kecil bekucir dua sedang memetik bunga. Ehm, musim semi.

Jong Hun mendekat ke layar laptop “Ini sudah sangat lama, musim semi tahun ini. Mungkin musim semi yang akan datang lebih indah.”
Andai aku dapat melihatnya. Pasti sangat indah dan menyenangkan melihat bunga bermekaran “Pasti sangat indah”.

“Foto ini punya sedikit kenangan diotakku” ujar Jong Hun. Soo Jung menatapnya lurus-lurus. Mata Soo Jung bercahaya seperti batu permata, menunjukkan antusiasme dengan cerita Jong Hun. “Dia memanggilku ayah. Dia bilang mataku seperti ayahnya”

“Dia, yatim piatu?” tebak Soo Jung. Jong Hun memandang tak percaya. Kenapa dia bisa mengetahuinya dengan tepat? Dan Soo Jung menjawab pertanyaan dalam benak Jong Hun

“Aku sering mengunjungi panti asuhan. Anak-anak itu selalu bilang, bahwa aku seperti ibu mreka. Hingga mereka meminta untuk memanggilku dengan sebutan ibu. Bagiku itu tak masalah. Bukankah cita-cita semua wanita pada akhirnya untuk menjadi seorang ibu? Lama-kelamaan aku menjadi begitu sangat bersyukur tapi juga kasihan pada mereka. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Tapi aku mempunyai foto beliau dan kakakku selalu menceritakan seperti apa ibuku. Sedangkan mreka, banyak diantaranya lupa akan wajah orang tuanya, bahkan tidak tau seperti apa rupanya.”
Jong Hun terkesiap. Setiap perkataan Soo Jung mengalir penuh kewibawaan dan kelembutan. Tipe wanita yang tak pernah ia temukan dimanapun.

Drrt Drrttt
Handphone Soo Jung bergetar diatas meja.
“Ah, Min Ho?” gumam Soo Jung melihat nama yang tertera di layar. Jong Hun memperhatikan percakapan mereka dengan baik karena Soo Jung tidak beranjak dari tempat duduknya.

“Soo Jung?” suara Min Ho terdengar ragu dari sebrang.
“Ne? Ada apa?” Tidak ada jawaban “Min Ho?”
“Eh. Aku ha-nya—-” Soo Jung mengecek Handphonenya sekilas. Mungkin karena salju turun begitu lebat, sehingga sinyal kurang jernih? Tapi sungguh tidak ada suara.
“Soo Jung-sshi, ada apa?” tanya Jong Hun melihat tingkah Soo Jung yang kebingungan.
“Min Ho? Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas, mungkin kau bisa mengirim pesan?”

Tuutt Tuutt
Telepon terputus dari Min Ho.

Soo Jung memandang Handphonenya.
“Apa dia ada masalah?” khawatir Soo Jung “Aku harap dia baik-baik saja”

“Min Ho.” Tanya Jong Hun penasaran “Dia, pacarmu?”
“Entahlah” jawab Soo Jung seperti seorang wanita dewasa “Tapi yang jelas, di telah menyatakan perasaannya padaku”

“Kau, kau eh-menyukainya?”

Soo Jung mengambil nafas, menyalurkan oksigen ke nadi-nadinya yang menegang. Di tatap lagi Handphone yang ada di genggamannya. Sepertinya mencurahkan sedikit perasaan pada orang yang tak begitu dikenalnya tidak berbahaya bukan? “Mungkin” katanya “Aku telah memperhatikannya sejak lama, mungkin lama-kelamaan itu bisa membuatku menyukainya”
“Dia akan menjadi pria paling beruntung kalau mendapatkanmu” Jong Hun mematikan laptop.
“Tidak juga. Diluar sana banyak wanita yang lebih cantik dan lebih istimewa dari aku” kata Soo Jung tanpa beban “mungkin aku akan membiarkannya mencari wanita yang ‘lebih’ dari aku”
Jong Hun tersenyum, dan menatap jauh kedalam mata Soo Jung, mata yang jernih dan menyiratkan ketulusan.
“Kau tak perlu repot-repot untuk mencari alasan menolaknya. Mungkin ketika Min Ho mengetahui ‘statusmu’ dia akan langsung menjauhimu” Soo Jung menoleh, hanya terfokus pad wajah Jong Hun. “Aku tak mengerti kenapa tidak ada seorangpun yang memberitahumu”
“Memberitahu?”
“Sejak pertama aku memperhatikan wajahmu aku sudah menebaknya. Begitu aku tau namamu, aku benar-benar yakin itu kau.” Soo Jung tetap tak mengerti, ini memberi kesempatan Jong Hun untuk berbicara lagi “Aku terlalu bodoh untuk menolak bujukan ayahku. Kau lebih manis dari yang di foto. Semuanya benar-benar serba kebetulan”
“Ehm?” Alis Soo Jung terangkat satu “tawaran? Foto?”
“Soo Jung-sshi,” Jong Hun mendekat membuat pipinya bergesekan dengan pipi Soo Jung. Ia berbisik pelan ditelinga Soo Jung “Percaya atau tidak. Aku adalah calon tunanganmu

Soo Jung menganga. Matanya tak berkedip. Nafasnya berhembus cepat. Jong Hun menarik wajahnya dari telinga Soo Jung. Dia tertawa kecil melihat wajah Soo Jung yang masih terlihat bingung dan shock itu.
“Terserah kau ingin mempercayainya atau tidak.”

Soo Jung berkutat dengan perkataan Jong Hun yang ia rekam baik-baik.
“Tidak ada yang memberitahuku dan___” Soo Jung mengambil Handphonenya, menelpon Soo Yeon, tapi Hpnya tidak aktif. Apa Ia harus menghubungi ayahnya? Sudikah ia mengangkatnya?

Soo Jung menggigit bibir bawahnya, bingung, kesal dan merasa tidak nyaman.
“Hei jangan gigit bibirmu seperti itu!” teriak Jong Hun mengejutkan Soo Jung.
“Ah!” refleks, Soo Jung menggigit bibirnya lebih kuat dari sebelumnya dan berdarah.
“Ya ampun” Tangan Jong Hun menyentuh dagu Soo Jung, menengadahkan kepala Soo Jung dan mengamati bibir gadis itu dalam diam. “Biar aku obati?”
“Tidak, eh. Aku baik-baik saja” ujar Soo Jung “Terimakasih”
Tapi Jong Hun tidak menyingkirkan tangannya. Sungguh, betapa menggoda gadis yang ada dihadapannya kini. Kulitnya lembut seperti sutra, matanya jernih bercahaya, dan bibirnya tak bisa dilewatkan.
“Jong Hun-sshi?” panggil Soo Jung lagi, menyadarkan Jong Hun yang terlalu lama memperhatikan wajahnya. Pasti aku akan menjadi laki-laki paling beruntung jika mendapatkan gadis ini. Gadis manis berhati berlian.
“Benar-benar tidak akan terasa sakit” kata Jong Hun datar, otaknya benar-benar blank. Seperti komputer yang tidak mempunyai kendali dalam memproses dan menyimpan.
“Tidak, terimakasih” Soo Jung menyentuh pergelangan tangan Jong Hun menyingkirkan tangan laki-laki itu dari dagunya.

Jong Hun menggaruk kepalanya berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan otak normalnya.

babo-%21%21.gif Apa tadi yang kupikirkan?

TBC

Wadoh lanjutannya termasuk NC kagak ya? XD
Kayaknya kagak sih. *devilsmile*
Maaf klo tulisannya kacau,
lembur nyeleseinnya ampe jam 4 pagi gilaa~~~ Gara-gara Ratingnya, nih cerita jadi harus gw ubah dikit jalan ceritanya…. Harap maklum, coz harus mematuhi peraturan yang ada. ^^
NO SILENT READER YUP
THX

cuplikan Chap berikutnya

Chagiya*Honey*, bibirmu sangat manis, dan membuatku ketagihan” gumam Jong Hun lalu menjilat bibir Soo Jung dan melumatnya lagi.

“Ehm, Jong~ehm Hun~ah~ shimfh~ chukup!”
Ia menendang, tapi kakinya terjepit disisi sofa. Jong Hun benar-benar menunjukkan kemahirannya dalam ‘menyentuh’ wanita dan membuatnya tak berdaya.
“Tenang Soo Jung-shi” kata Jong Hun disela ciumannya “Aku sudah cukup berpengalaman, dan kau akan menyukainya”




10 thoughts on “Happy Ending chapter 6

    1. hahhh jonghun ada NC dgn krystal… hikksss gak rela pdhal, qu inginx dia sm Minho yg ad NCx #plakk yadong…. qu panas loe bc yg next chapx thor…
      qu mw krystal sm minho #maksa bnget.. *seret krystal kekamar minho..

      Like

  1. kren, krystalnya polos bgt, jngn lama2 post part slajutnya,
    T.T kaga rela krystal yadong sma orng lain slain minho,
    please jngn bikin nc, baby jungku ksian, msih under age T.T

    Like

  2. Soojung jangan sama jonghun …. Gag RELAAAAAA !!!!! Soojung harus ma Minho ,.. HARUS !!! Nice ff , lanjutkan,chingu 🙂

    Like

Leave a comment