[Freelance] Between Friends #3


TITTLE: Between Friends Part 3 (END)

Cast: Amelia Salisbury / Ri Ah (OC)

Oh Sehun

Kim Jongin

Genre: Romance, Friendship

Author: AAL

Notes: pernah di post di hazelwine.wordpress.com ~BETWEEN FRIENDS~

I knew, it was you –Giselle (Enchanted)

Ri Ah’s POV.

Aku melambaikan sebelah tangan pada Sehun yang berada di lantai bawah apartemenku. Setelah merasa siluet punggungnya semakin menghilang,aku meraih kunci yang tersimpan didalam tas dan membuka pintu apartemen.

Aku menyandarkan punggungku pada pintu yang baru saja kututup rapat, dan seketika jatuh meluruh disana.

“Kalian adalah sahabat terbaikku.”

Kedua tanganku memeluk lutut. Kebenamkan wajahku disana, dan menangis sekencang-kencangnya.

Bukan itu yang ingin kudengar Sehun-ah. Bukan itu.

Sehun-ah, kau tau? Saat aku mengatakan bahwa aku lelah, aku tidak tidur. Aku menangis. Menangis karena lagi-lagi kau tidak mengatakan perasaanmu yang sebenarnya.

Kadang aku sendiri tidak mengerti, tentang perasaan kita yang berlari-lari mencari tempat berdiam padahal ia ada di depan mata.

Kenapa kita selalu membuat hal menjadi rumit kalau masalah itu sendiri lebih mudah dari pada sekedar membalikan tangan?

Apa kita menjaga sesuatu yang penting? Ya.

Apa kita akan menghancurkannya? Tidak.

Kita sama-sama tahu tentang perasaan masing-masing. Tapi kenapa kau selalu berbalik? Dan memperlihatkan punggungmu yang takkan bisa kujangkau. Semakin aku berusaha untuk menggapainya, semakin cepat kau berlari.

Aku tak mungkin salah mengartikan caramu memandangku. Ada cinta disana. Tak pernah kah kau perhatikan iris mataku?

Sapphire ini menginginkan hazel milikmu.

Aku tau, kalau kau lah yang membuat Guacamole itu. Kai yang ceroboh tidak mungkin bisa membuatnya. Tapi kenapa kau tetap diam? Bersembunyi di belakang punggung Kai seperti tidak ada yang salah?

We’re so close to reaching that famous happy end.

Sehun-ah, kau tahu? Aku melihat pertunjukanmu. Dari jendela kelas yang dibiarkan terbuka, aku melihat jari-jari mu yang panjang menari diatas tuts berwarna hitam putih itu.

Saat bibirmu menyanyikan lirik itu, taukah kau kalau aku merasakan yang sama? Kita sangat dekat untuk meraih kebahagiaan itu. Tapi kenapa masih terasa jauh?

So close, and still so far.

Sedekat apapun kita, bisakah kau lihat ada benang setipis sarang laba-laba yang tidak bisa kita lewati? Siapa yang membuatnya? Kita ?

And you’re beside me and look how far we are.

Apa kau tau, kalau aku sering berbohong? Saat aku mengatakan ingin memiliki kancing jaket Kai, aku bohong. Aku berkata begitu, agar kau memberikan milikmu. Tapi apa yang kau lakukan?

Pertanyaan yang kulontarkan di padang rumput tadi, tahukah kau jantungku hampir melompat karenanya. Pertanyaan itu adalah isyarat akan perasaanku padamu.

Aku menyukaimu….aku juga menyukai Kai.”

Itukah jawabanmu? Berbedakah apa yang ada dimulut dengan di hati?

Atau itu adalah jawaban satu-satunya yang sanggup kau lontarkan untuk melindungi hatimu untuk kesekian kalinya? Andai kau tahu, itu adalah kesempatan terakhir yang kuberikan, dan lagi-lagi kau membuangnya.

Kadang aku mencoba untuk melupakan pertemuan pertama kita.

Tiga tahun yang lalu, aku hanyalah seorang gadis asing yang terdampar di sebuah desa kecil tak bernama. Yang kutahu hanyalah bahasanya. Sisanya? Buta.

Saat aku terhimpit oleh beberapa pria yang berusaha mencuri milikku yang paling berharga. Seseorang menyelamatkanku. Bukan, bukan orang yang menghabisi pria-pria bejat itu orangnya.

Melainkan seorang pemuda berambut cokelat yang tiba-tiba melindungiku dengan pelukannya.

Hangat. Itulah yang kurasakan.

Saat sapphire milikku bertemu hazel milik pemuda itu untuk pertama kalinya, aku menyadari sesuatu.

Bahwa cinta pada pandangan pertama benar adanya.

      ~BETWEEN FRIENDS~

Setelah puas menumpahkan semua air mata yang tersisa,aku bangkit menuju ruang makan mungil yang berada di samping dapur dengan langkah terhuyung.

Saat diriku masih sibuk menghabiskan satu botol air mineral, mataku menemukan sebuah benda berwarna putih dengan bentuk segi empat terparkir diatas meja. Pinggiran benda itu dibordir berwarna biru tua dan merah.

Sebuah surat. Lebih tepatnya, surat dari ayah.

Tanganku langsung menyambar benda itu,lalu membuka segelnya sehati-hati mungkin-takut merusak bagian dalamnya.

Aku mengintip isi surat itu, ada dua kertas. Tanganku menarik secarik kertas yang menurutku isinya adalah sebuah pesan lalu membaca sederet kalimat yang ada disana. Setelah paham akan isinya, kurasakan kedua tanganku melemas dan kertas yang berada dalam genggaman langsung terlepas.

From: Alberto Salisbury

To: Amelia Salisbury

Untuk putriku Amelia. Mi princesa,cómo estás? (putriku, bagaimana kabarmu?). Ayah sangat merindukanmu ^^. Sekarang aku sudah kembali dari perjalananku dan sedang ada di meksiko, tempat kelahiranmu. Aku tau kau pasti merindukan tempat ini kan? Bersama surat ini kukirimkan satu tiket untuk kembali kesana! Ding, dong! Kau pasti senang kan,bebé (sayang)? XD.

Pesawatnya berangkat satu minggu lagi, jadi kau bisa berpamitan dengan teman-temanmu dulu. Sampai jumpa, ayah menunggu kedatanganmu di depan pintu rumah ya. Xoxo

PS: Megy dan Louise sudah pulang dari studi mereka, dua anak kembar itu juga merindukan mu loh.  Cepat pulang ya, nak. :”)

~BETWEEN FRIENDS~

I’m gone, but then, I’m not gone. So if I do leave, you can never be sure that I am gone, can you? –Merlin

“Aku bilang tidak ya tidak!”

Mungkin sudah sepuluh kali dalam hari ini Kai mengulang kalimat yang sama.

Pemuda itu menoleh padaku, tampangnya mengeras. Kedua tangannya mengepal erat. Melihatnya seperti ini,membuat  diriku menjadi semakin merasa bersalah. “Kubilang, kau tidak boleh pergi!”

Aku menutup kedua mata lalu menghela nafas pelan. Aku tau tanggapan Kai akan seperti ini, tapi aku tidak tau ini akan sangat manyakitkan bagi hatiku. “Maaf..” Akhirnya hanya satu kata itu yang sanggup keluar dari kedua belah bibirku.

Kai mengacak-acak rambut hitamnya. Ia dudukan tubuhnya pada gundukan pasir. Suaranya terdengar frustasi, “Kenapa tiba-tiba ayahmu menyuruhmu pulang? Dan kenapa kau baru memberitahu kami sekarang?! Sehari sebelum kau pergi.”

Kalau yang ini, memang aku yang salah. Butuh waktu yang lama untuk mengepak semua barang-barang ku kedalam koper. Mengurus kepindahan dan sebagainya. Sampai tidak menyisakan sedikit waktu untuk memberitahukan hal ini kepada mereka.

“Maaf.” Ujung lidahku terasa seperti habis mengecap lelehan dark chocolate, saat mengucapkan kata itu untuk kedua kalinya. Pahit.

“Ayahmu….” Kai mendongakan kepalanya, dan saat itu aku baru menyadari bahwa kedua matanya menjadi merah, “Kenapa dia egois sekali? Menelantarkan anak gadisnya ke desa kecil ini, lalu seenaknya saja dia ingin mengambilnya lagi. Ayahmu egosi!”

“KAI!” Seorang pemuda yang daritadi hanya diam seperti patung itu akhirnya angkat bicara, “Jaga bicara mu. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang ayah Ri Ah.”

“Memang begitu kenyataannya kan?!” Kai bangkit berdiri, lalu membalas perkataan pemuda itu dengan nyalang, “Apa kau tidak berfikir seperti itu, Sehun?!”

Yang ditanya hanya bisa diam, menatap Kai dengan sorot matanya yang tenang. “Mengertilah Kai. Ayah Ri Ah, pasti rindu dengan anak gadis nya. Hal yang wajar jika ia ingin Ri Ah kembali.”

“Persetan!” Kai mengibaskan tangannya. Seperti memberikan tanda bahwa ia muak mendengar kalimat yang baru dilontarkan Sehun. Ia berjalan kearahku dengan tampangnya yang masih kusut. Jujur,itu membuatku sedikit takut.

“Jangan pergi.” Katanya. Ia taruh kedua tangannya dibahuku, lalu meremasnya. “Bukannya kita berjanji akan selalu bersama? Lalu kenapa kau mengingkarinya?”

Aku menggigit bibir bawahku. Mungkin sebentar lagi, kedua mataku akan mengeluarkan tetesan air. “Aku….”

Kai tiba-tiba menarikku kedalam pelukannya. Ia rengkuh tubuhku kuat. Seakan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah melepaskanku, bahkan sejengkal saja.

Aku tidak membalas pelukannya. Karena dalam posisi seperti ini, perhatianku lebih tersita oleh tatapan pemuda bermata Hazel itu. Separuh hatiku berharap, andai saja pemuda itu yang memelukku.

Kai melepaskan pelukannya, ia tatap wajahku. Seakan menghafal setiap incinya “Tapi…mau kutahan seperti apapun, aku yakin kau akan tetap pergi.”

Aku menarik kedua ujung bibir, lega karena akhirnya Kai mengerti akan kondisiku. “Terima kasih.”

Kai tersenyum lemas, ia mengelus puncak kepalaku beberapa kali sebelum berbalik pergi. Meninggalkanku berdua dengan pemuda bermata hazel ini.

“Besok, kau berangkat jam berapa?” Tanya pemuda itu. Seulas senyum terpatri di wajahnya yang pucat. “Hmmm, dari desa ini ke bandara memerlukan waktu tiga jam jika memakai bus. Akan lebih baik jika kau mengambil bus jam enam pagi saja.”

Kenapa kau bicara seakan kepergian ku ini adalah sesuatu yang wajar Sehun-
ah?

“Oiya, barang-barangmu sudah selesai dikemasi semua? Kalau masih ada, biar kubantu.” Tanya pemuda itu lagi, “Ah, dan jangan lupa bawakan ayahmu ginseng dari kebun Shindong ajusshi. Hitung-hitung untuk oleh-oleh. Hehehe”

Melihatku yang tidak merespon candaannya yang memang sama sekali tidak lucu,pemuda itu berdehem sebentar lalu melanjutkan kalimatnya.

“Kau sudah berpamitan dengan Hayoung belum? Kasian dia. Di desa ini hanya kau yang mau berteman dengan gadis buta itu.”

“Sehun-ah.”

“Ya?”

“Apa kau akan merindukan ku?”

Senyum yang  tadi terpatri diwajah itu, tiba-tiba lenyap. Digantikan dengan hawa kesedihan yang tiba-tiba muncul menyelimutinya. “Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak merindukan gadis seperti mu?”

Kalau begitu tahan aku. Katakan jangan pergi.

“Tapi memangnya, aku bisa apa?” Ia alihkan pandangan matanya pada laut yang sedari tadi tetap memunculkan ombak, “Pergilah….”

Kau tau Sehun-ah? Aku rela tidak kembali ke Meksiko selamanya. Jika kau menahanku sekarang.

Kedua tanganku meremas ujung kaus yang kupakai dengan erat. Berharap agar itu bisa menahan air mataku agar tidak memberontak keluar. “Sehun-ah, sebenernya aku ini siapamu?”

Entah apa yang terjadi sampai bibirku berani menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi dadaku.

Pemuda itu langsung mengalihkan perhatiannya dari laut dan memfokuskan matanya pada diriku. “Maksudmu?”

Aku meneguk ludah yang sedari tadi membuat tenggorokanku seperti tercekat. “Aku ini siapamu?” Tanyaku lagi.

Sehun berjalan mendekat, membuat jantungku seakan memberontak ingin keluar dari kurungan tulang rusuk.

Ia angkat  tangan kanannya, jemarinya mengelus sebelah pipiku lembut. Dari jarak yang hanya tiga puluh centimeter ini, aku bisa melihat ada setitik air di kedua ujung matanya.

“Kau…” Pemuda itu mulai bersuara ,”Bagiku…kau adalah sahabat terbaikku.”

Sahabat?

Tanganku yang tadi masih sibuk meremas ujung kaus seketika terlepas dan langsung menampik tangan pemuda itu. “Sahabat kau bilang?” Entah kenapa aku merasa seperti ada gejolak api yang menyelimuti hatiku sehingga aku berkata, “Entah kenapa, jika kau yang menyebutkan kata itu. Bukan tidak mungkin, kalau aku jadi membenci kata itu. Lebih dari apapun.”

Aku memandang hazel pemuda itu dengan sapphire milikku untuk terakhir kalinya, sebelum berbalik pergi.

Dan tak kembali.

~BETWEEN FRIENDS~

Goodbye? Oh, no, please. Can’t we go back to page one and do it all over again? –Pooh

“Kau yakin tidak ada yang tertinggal?” Wanita setengah baya itu mengobrak-abrik barang-barangku yang sudah disusun rapih, “Apa kau mau aku mengecek kamarmu sekali lagi?”

Aku tersenyum geli melihat wanita ini sebegitu perhatiannya padaku. “Tidak usah. Terimakasih Jung Ahjumma.”

Jung Ahjumma adalah pemilik apartemen yang sudah tiga tahun ini kutinggali. Wanita yang rambut putihnya selalu disanggul ini tidak mempunyai anak, karena itulah ia sudah memanggapku seperti putrinya sendiri.

Wanita itu menggigit bibir bawahnya, dalam hitungan detik ia bawa aku kedalam pelukannya yang hangat. “Jangan lupa kirim surat ya nak. Aku pasti akan merindukanmu.”

Aku membalas pelukan hangat wanita ini seerat yang aku bisa. Hidungku menghafal aroma ginseng yang menguar dari tubuh wanita ini untuk terakhir kalinya. “Pasti.”

“Jaga dirimu baik-baik.” Kata seorang gadis berambut panjang. Kedua tangannya terangkat seperti hendak menangkap udara.

Aku menyantuh kedua tangannya, dan langsung membawa tubuh mungil gadis itu dalam dekapanku. “Tentu saja. Hayoung-ah, jaga kesehatanmu ya.”

Gadis buta itu menganggukan kepalanya dengan kikuk. Melihat keadaannya yang seperti ini, membuatku jadi tidak tega. Hayoung kehilangan penglihatannya lima tahun lalu akibat kecelakaan mobil yang juga menewaskan orang tuanya. Selain kakeknya yang baik hati itu, ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi.

“Ri Ah.”

Aku memutar tubuhku dan menemukan pemuda berambut hitam berdiri tepat dihadapanku. Tatapannya sendu, jarang sekali aku melihatnya seperti ini. “Oh, Hai Kai.”

“Seharusnya kau bilang ‘selamat tinggal.’ Bukannya ‘hai.’, dasar bodoh.”

Aku hanya tersenyum mendengar omongannya yang terdengar ketus. “Iya,iya. Maaf ya teman.” Tanganku menepuk-nepuk sebelah bahunya,”Ayolah. Ini kan saat-saat terakhir sebelum aku pergi. Senyum dong!”

Pemuda itu mengerucutkan bibirnya kesal. Walau begitu, aku bisa mengetahaui kalau ia sedang menahan tawa. “Iya, iya. Niiihhhhh.”

Aku tergelak melihat pemuda itu menunjukan senyum lebarnya. Hihihi, giginya yang besar membuatnya terlihat seperti keledai.

“Barangmu hanya segini? Biar kubawakan.” Kai meraih dua koper berwarna hijau lumut itu lalu memasukannya kedalam bagasi Bus yang sedari tadi terbuka.

“Hei, Amelia.”

Bahuku langsung menegang mendengar suara serak-serak basah itu. Dengan perlahan aku memutar tubuhku dan langsung menunjukan senyum formal yang sudah ku setting sebelumnya. “O-oh. Hai, Se-Seohyun eonnie.”

Perempuan berambut cokelat itu mengangkat sebelah alisnya “kau benar-benar ingin pergi?”

N-ne.” Jawabku tergagap.

“Tanpa mengucapkan selamat tinggal pada adikku?”

Ini dia. Pertanyaan yang sedari tadi kuhindari akhirnya terucap juga. Hanya saja aku tidak memperkirakan kalau pertanyaan ini akan keluar dari bibir kakaknya.

“Dari tadi aku tidak melihatnya. Bisa tolong sampaikan salamku untuknya?”

Seohyun eonnie menggelengkan kepalanya. “Adikku itu. Pengecut sekali sih.” Katanya, “Yasudah. Nanti aku sampaikan.”

Aku tersenyum “Gomawo eonnie.”

Perempuan itu membalas senyumku dengan anggukan kecil sebelum berbalik pergi.

“Hei, ini sudah waktunya.” Kata seorang pria berkumis yang sedari duduk dibelakang kemudi. “Kalau kau tidak mau ketinggalan pesawat, lebih baik kita berangkat sekarang.”

Aku menghela nafas, lalu berbalik menatap orang-orang yang selama tiga tahun ini mengisi kehidupanku dengan sedih. “Sampai jumpa semuanya, aku akan merindukan kalian.”

Kaki ku menaiki dua anak tangga yang berada di depan pintu bus, lalu duduk di bangku yang berada disamping jendela. Tanganku melambaikan salam perpisahan.

“Ri Ah.” Kai mengetuk-ngetuk jendela bus dengan jarinya.

Aku membuka jendela itu “Ada apa lagi?” Tanyaku.

Pemuda itu menyentuh pipiku, ia berjinjit, lalu mengecup dahiku seraya berkata “Aku mencintaimu.”

Aku bernafas lega saat pria berkumis  yang tak lain adalah sopir bus menginjak pedal dan mulai menjalankan bus ini menuju bandara.

Setidaknya, bus ini membawaku pergi dari situasi yang lima detik lalu baru saja terjadi.

Aku mencintaimu.

Kalimat itu…terucapkan oleh Kai. Bukan dia. Kenapa?

Pemandangan yang tersaji di balik jendela hanyalah laut,laut dan laut. Sial, sepertinya Tuhan senang sekali menyiksaku. Semakin aku melihat laut, semakin aku ingin bertemu pemuda bermata hazel itu.

Aku tau, ia pasti tidak ikut mengantarku karena perkataanku kemarin. Aku tau aku egois karena selalu menunggunya mengucapkan kata ‘cinta’ .

Kadang aku berfikir, kenapa tidak aku saja yang mengatakannya? Jawabannya karena aku takut. Takut ditolak, takut akan kehancuran yang akan terjadi bila mengucapkan kata itu.

Pada dasarnya aku dan Sehun. Kita berdua . Tidak salah. Karena kami hanyalah dua manusia biasa yang terlalu takut disakiti oleh cinta.

Aku menutup kedua bola mataku. Aku bisa mambayangkan, Sehun sekarang sedang ada di kamarnya. Membaca novel misteri kesayangannya sambil tiduran di atas ranjangnya yang empuk.

Lalu secarik kertas jatuh diantara halaman-halaman buku itu. Sekarang yang kuharapkan adalah, agar pemuda itu sudi membaca sebait kalimat yang kutulis disana.

‘Es tan difícil decir te quiero?’

 

Is that hard to say I love you?

~BETWEEN FRIENDS~

“I love you. I’ve never stopped loving you.” -Something New (2006)

Tujuh tahun kemudian.

Yeobo, kau sudah ada dimana?”

“Masih di kapal. Kau ini. Apa tidak bisa sabar sedikit?”

“Ck. Aku sudah rindu dengan wajah istriku yang cantik.”

“Hahaha. Tidak perlu dipuji seperti itu, aku sudah tau ko kalau aku ini cantik.”

“Yasudah. Kalau sudah sampai, telfon aku ya.”

“Tentu. Bye Jong In-ah.”

Klik.

Aku menekan tombol berwarna merah yang ada di ponsel,lalu langsung menyusrukan benda itu kedalam tas yang sedari tadi tergantung dibahu kiriku.

Angin sore berhembus dari arah barat, meniupkan rambut merahku yang terjuntai menyentuh bahu.

Mataku menangkap benda yang melingkari jari manisku sejak dua tahun lalu.

Sebuah cincin. Cincin perkawinanku dengan Kai.

Ada kalanya, aku ingin melepas cincin ini, membuangnya, lalu pergi. Pergi. Berdua denganmu.

Sehun-ah, sudah tujuh tahun berlalu. Apa kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Apa kau sudah mewujudkan mimpimu menjadi pilot?

Aku masih ingat hari itu. Hari dimana Seohyun eonnie memberitahukan padaku tentang kepergianmu.

Kau pergi tanpa jejak. Tanpa meninggalkan pesan apapun. Pergi dengan membawa semua tabungan dan pakaianmu. Pergi meninggalkan semua kenangan yang pernah terjadi.

Tidak ada yang tau alasan kenapa kau pergi. Bahkan kedua orang tuamu sendiri.

Dua tahun lalu akhirnya aku memutuskan membuang semua tentang mu. Tentang kita. Menerima lamaran Kai, menjadi istrinya, berusaha membangun keluarga mungil yang bahagia.

Aku menyayangi Kai. Sangat menyayanginya. Tapi tetap saja. Lidah ini tetap kelu. Bibir ini tetap mengucap kebohongan demi kebohongan. Demi melindungi sebuah hati yang takut terluka.

Tetapi hati ini selalu tau. Ia tidak bisa tertipu. Bahwa cinta yang terdapat didalamnya terasa semu. Rasa ini tetap hambar. Mereka menginginkan yang lain. Mereka membutuhkanmu.

Sehun-ah, kau ada dimana? Kenapa kau pergi? Kenapa kau mengingkari janjimu sendiri?

Kita akan selalu bersama, entah bagaimana hubungan kita nanti. Itu kan yang kau katakan?

Kenapa kau pergi? Dan menyimpan semua rasa sakit itu sendiri. Meninggalkanku  disini. Tak tau kah kau bahwa hati ini menjerit merindukanmu. Rindu akan suaramu, rindu akan aromamu, rindu akan deru nafasmu yang kontan memburu.

Kau pergi disaat aku membutuhkanmu. Ah tidak. Kau memang tidak pernah ada. Kau tidak pernah bisa menemukanku. Sehun-ah, sampai kapan kau akan tetap berlindung dibalik topeng itu? Topeng persahabatan kau bilang? Bukankah itu hanya alasan agar kau bisa lari?

Lari dari semua ini. Lari dariku. Pengecut. Aku membencimu Sehun-ah. Karena kau tetap memilih menjadi bintang. Meninggalkan bulan dan membawa semua rasa sakit itu sendiri.

Sehun-ah, apa kau tau? Aku masih mencintaimu. Ah, bukan. Aku tetap mencintaimu. Rasa ini tetap tersimpan di sebuah kotak pandora yang tertutup rapat. Berapa kalipun kau coba banting kotak ini. Sesuatu yang ada didalamnya takkan pernah hancur.

Aku merindukanmu. Aku merindukan saat yang tak pernah kita lalui. Aku merindukan cinta yang hampir sampai. Setidaknya kembalikan aku ke saat itu, walaupun hanya dalam mimpi.

Sehun-ah jawab aku. Bagaimana mungkin seseorang bisa merindukan sesuatu yang bahkan tidak pernah ia miliki?

Kedua mataku terasa hangat. Setetes air mata jatuh. Menghancurkan dinding pertahanan yang selama ini kubangun. Kepalaku mendongak menatap laut biru yang tepat berada di depan mata.

Bahkan di saat seperti ini, laut selalu berhasil membangkitkan kenangan tentangmu.

Kau ingat? Dulu jika kau melihat iris mataku, kau teringat akan laut. Aku juga. Saat mencium aroma tubuhmu. Aku ingat laut. Aroma laut. Menenangkan. Juga menghanyutkan.

Aku menghela nafas. Tanganku merogoh tas yang sedari tadi tersampir dibahu kiri, mengambil sebuah pena dan secarik kertas.

Tanganku menuliskan sebuah kalimat di atas kertas putih itu. Setelah selesai aku mulai melipatnya menjadi sebuah pesawat tiruan.

Sehun-ah, aku memang tidak tau kau dimana. Tapi aku yakin kau ada. Di suatu tempat di belahan dunia ini, aku berharap kau masih mengingatku.

Aku menerbangkan pesawat kertas ini dengan melemparnya menggunakan tangan kanan. Mustahil memang, tapi aku berharap angin akan membawa pesawat ini  sampai ke tempatmu berada, berharap kau sudi membaca pesan yang terselip disana.

‘Untuk Oh Sehun yang tak pernah lekang oleh waktu, aku mencitaimu’

 

-END-

 

Sad ending? Happy ending? Yah… terserah kalian sih mau menyimpulkannya gimana LOL.

Nge gantung ya? Iya,iya aku tau ko. namanya juga oneshoot dijadiin Chapter, ya pasti gantung. *emang ada hubungannya?* *slap AAL*

 

Hehehe maaf kalau kalian ga puas dengan endingnya… ini pertama kalinya aku bikin ending yang kaya gini jadi maaf kalau jelek atau gak dapet feelnya hehehe.

 

Kemana Sehun pergi? Apa yang menyebabkan Ri Ah menikah dengan Kai?

 

Hehehe bikin voting yuk! Siapa yang setuju ff ini dibikin sequel? Kalau peminatnya banyak akan kubikin kalau enggak… yasudah sequelnya akan mendem di laptop ku hehe.

Makasih untuk semua readers yang udah baca dan komen ff ini dari awal sampai akhir…. Sangat sangat terima kasih! J

 

 

 


15 thoughts on “[Freelance] Between Friends #3

  1. dari pertama aku baca aku udah suka banget sama ff ini. indah banget kata kata yang kamu sambung thor ehehheehhe.bikin dong sekuelnya please please please

    Like

  2. Ending nya feelnya dapet banget menurut ku…sampe nangis thor bacanya:'(
    Sequel….gak rela sehunnya diakhir cerita gak ada:D
    Sequel…..!!!!!

    Like

  3. Sequel thor~~!! Klo nggk aku demo di depan rumah author *nah loh, emng tahu rumahnya?*
    Ini ngegantung bgt thor, ga nyangka klo udh END di chapter 3 ini.

    Hah, iya jga ya mau nyalahin siapa coba, mau nyalahin kai, dia nggk salah, apa salahnya mencintai org yang disukai?
    Mau nyalahin sehun dia jga sbnrnya niatnya baik, mau ngerelain org yg dia suka demi sahabatnya^^

    Aku suka ff ini. Daebak thor! 😉

    Jgn lupa sequelnya ya ;;)

    Like

Leave a comment