[YAOI] THE REASON : final


Manusia ibarat bulan. Yang selalu membutuhkan orang lain untuk bisa membuatnya nampak indah.

Cast: Kim Jaejoong, Jung Yunho & Kim Junsu.
Genre: Sad romance
PART III / Final

Hujan tumpah diluar. Memang hanya air yang berguguran. Tak bisa melukai. Namun hujan sanggup membatalkan tekadnya. Juga mendatangkan bencana.
Sepeti saat ini ketika Jejung terperosok dalam kubangan air yang berlumpur, membuat seluruh tubuhnya yang sudah basah menjadi kotor dan lengket. Ia memang tak perduli dan terus berlari. Walau tak mengerti dengan apa yang sedang ia rasakan. Walau tak tahu kemana seharusnya ia pergi.
“Jungie, ini aku Yunho.” Itu kata pertama yang ia baca dari surat yang diselipkan di antara pita merah yang menghiasi kue tiramisu di lemari penyimpanan kue di restorannya.
“Maaf selama ini sudah membohongimu tentang identitasku. Aku datang untuk memastikan kalau kau baik-baik saja.”
Derasnya hujan seperti ribuan jarum yang ditumpahkan ke tanah. Pedih. Apakah langit ikut menangis untuk dirinya? Ikut menanggung penderitaannya?
Tak ada yang mampu menghalangi Jejung. Badai sekalipun. Ia berlari menerobos curahan air seperti menerjang tirai demi tirai yang menjuntai dari angkasa. Siramannya serentak menusuk, menghujam kulitnya. Tapi ia tak perduli. Cucuran air diwajahnya tak juga reda. Bukan hanya sisa hujan yang tertinggal. Tapi juga tangis yang tak bisa berhenti.
Meyakini bisikan relung kalbunya yang mendesaknya untuk terus berlari, ia pun berlari sekuat mungkin untuk bisa menemukan orang yang dicarinya. Orang yang selama ini membohonginya. Orang yang selama ini berada disampingnya. Orang yang sampai saat ini masih sangat dicintainya.
“Karena kau sudah bahagia. Kurasa, inilah saatnya bagiku untuk pergi…”
Tangannya masih memegang lembaran kertas yang basah terkoyak hujan. Semua mimpi dan harapan kini hancur bersamaan dengan Jejung meremas kertas lembab itu.
“Aku akan selalu mencintaimu, Jungie.”
Remuk. Robek. Tanpa suara. Sesunyi hidupnya kini yang dibungkam kenyataan.

Junsu kembali memandang apartement milik Jejung yang sudah didekorasinya. Balon-balon serta ratusan kuntum bunga mawar mengelilingi ruang tamu yang di dominasi warna oranye itu. Jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Tak ada tanda-tanda kepulangan Jejung, handphone genggamnya juga di matikan. Telpon restoran juga tak ada yang mengangkat.
Ia tak ingin berprasangka buruk, tapi ia merasa seolah-olah Jejung memang sengaja menghindarinya. Sejak kedatangan pria yang mengaku bernama Daiji.
Mengingat nama Daiji dada Junsu terpanggang oleh kecemburuan.
Lama ia masih tertegun di depan buket bunga yang diatur sehingga menyerupai bentuk hati di atas meja. Perlahan Junsu berusaha menegakkan kepalanya sedikit demi sedikit. Sakit dan tersiksa yang dirasanya. Seperti sedang berjuang untuk menerima kenyataan pahit yang menimpanya. Dan baru saat itu ia sadari kalau ada air yang menetes dari matanya.
Akhirnya Junsu memilih untuk meninggalkan rumah Jejung. Membiarkan dekorasinya terbuang sia-sia.

Berlari sekuat mungkin ternyata malah membawa Jejung kembali ke apartement miliknya. Ia tak ingat kalau sudah menyalakan lampu apartementnya, tapi pendar-pendar berwarna kuning memantulkan bayangan benda-benda di sekitar ruangan tersebut.
Jejung baru akan masuk kedalam rumah saat seseorang memanggilnya. Perlahan ia memutar badan, dan orang yang selama ini membohonginya dan mengaku sebagai Daiji sudah berdiri di depannya.
“Mengapa?” Bibir Jejung bergetar. Air matanya mengalir. “Mengapa kau melakukan semua ini kepadaku? Kenapa?” Ia mulai terisak.

-flash back-
Dalam kebingungan ia terbangun di atas ranjang besi rumah sakit yang dingin dengan kepala pening. Refleks ia mencabut infus yang ditempel di lengannya. Saat itu ia tak tahu sedang berada di rumah sakit mana tepatnya. Tapi ia justru mengikuti suara hati yang mencoba untuk menuntunnya ke suatu tempat. Tempat seseorang mungkin masih menunggu kedatangannya.
Perlahan pintu membuka. Diam-diam Yunho melongok keluar, ia hanya melihat seorang pria berperut buncit tengah berdiri di depan pintu kamar lain tapi tidak menyadari kehadirannya. Setengah berlari Yunho menghilang di belokan koridor.
Yunho merogoh saku celana untuk mencari ponselnya, tapi ia lupa kalau saat itu pakaiannya sudah diganti dengan baju rumah sakit sementara barang-barang pribadinya entah ditaruh dimana.
Jalanan lengang, memengaruhi kewaspadaan Yunho. Ia menyebrang jalan, ketika itu sebuah cahaya dari lampu mobil menyorot dirinya. Yunho tak sempat menghindar saat mobil itu menabrak tubuhnya.
Kepalanya terasa berat dan pusing, bau amis bercampur aroma aspal yang basah sehabis hujan menyergap masuk kedalam hidungnya. Menyakiti tenggorokannya dengan aromanya yang menusuk. Yunho berusaha mengerjapkan matanya, namun air mata malah semakin mengaburkan pandangannya.
Sedih, perih. Rasanya bukan hanya tubuhnya yang tersakiti namun juga perasaannya remuk redam. Mungkin Tuhan memang tidak menakdirkannya untuk bisa bersama Jejung.
Mungkin usahanya selama ini memang hanya proses untuk memisahkan mereka berdua. Air mata mengalir ke ujung hidung dan jatuh ke tanah, di penghujung hidupnya Yunho tetap memikirkan Jejung.
-end of flash back-

“Jawab aku. Mengapa kau lakukan ini semua padaku?!”
Lamunan Yunho terhenti. Suara Jejung meninggi. Air mata semakin deras di pipinya.
Yunho berjalan mendekati Jejung. Meraih tangan Jejung dan menggenggamnya. “Aku tak bisa menjelaskannya padamu. Semuanya terjadi begitu saja.”
“Itu tak penting, aku tak perlu mendengar alasanmu. Yang penting sekarang kau ada disini.”
“Maaf…” Air mata mengenang. Bibir tebal Yunho bergetar. Parau ia berbisik, “aku mencintaimu, Jungie.”
“Aku juga…” Jejung mulai terisak. Walau tak tahu sebabnya.
Yunho menarik Jejung kedalam dekapannya. Memeluk tubuh ringkih pria itu erat-erat. Tangisan Jejung semakin menjadi namun Yunho tak berniat untuk menghentikannya. Ia justru ingin Jejung menangis sekerasnya. Karena setelah malam ini ia tak akan ada lagi untuk Jejung ketika ia sedih.
Pelan-pelan akhirnya tangisan Jejung menjadi isakan kecil. Yunho menaruh kedua tangannya di pipi Jejung, menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Perlahan ia mendekatkan kepalanya dengan Jejung, mencari bibir Jejung yang masih bergetar karena tangisannya. Mengulum lembut bibirnya yang merekah.
Ketika Yunho mengakhiri ciumannya, Jejung kembali menangis akibat firasat buruk yang dirasanya.
“Jangan menangis lagi. Kumohon.”
Jejung menjadi histeris. “Jangan pergi,” katanya. “Tolong aku, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Aku takut sendiri. Aku tak ingin tanpa dirimu. Rasanya berat, Yunho. Sakit. Hatiku sakit tanpa dirimu, kumohon. Tolong aku. Tinggallah di sisiku. Tolong aku, tolong aku…”
“Maafkan aku, Jungie. Aku sayang kamu.”
“Tidak. Jangan katakan itu.” Mata Jejung membesar. Sosok Yunho mulai memudar di matanya. Genggaman tangannya tak lagi terasa. Jejung merasa tak yakin dengan pandangannya, ia menggapai-gapai tapi tak bisa menyentuh apapun. Hanya udara yang terus bergerak menghindari kebasan tangannya.
Sebuah payung meneduhi Jejung. Hujan tiba-tiba berhenti untuknya.
Jejung memutar tubuhnya pasrah. Air mata masih mengenang, wajahnya basah oleh air mata.
Junsu segera menarik Jejung kedalam pelukannya. “Aku ada disini,” bisiknya di telinga Jejung. “Kau akan baik-baik saja, hyung.”
Mengapa di dunia ini ada begitu banyak air mata…?
Sebelum bertemu denganmu aku tak pernah berpikir akan meneteskan air mata sebanyak ini ketika akan pergi meninggalkanmu. Jujur. Aku takut. Takut kehilangan dirimu untuk yang kesekian kalinya. Takut kehilang senyum yang paling kusuka di dunia ini. Takut berhenti mendengar suaramu.
Tapi hal yang paling kutakutkan adalah tangisanmu. Aku takut jika nanti kau menangis dan aku tak ada di sampingmu. Jadi sayang, jangan menangis dan tersenyumlah.
Karena aku akan selalu memegang tanganmu tak perduli kemanapun aku pergi.
Aku… Sangat mencintaimu. Kau adalah satu-satunya alasan aku hidup di dunia ini.
Jungie, terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Mengisi hari-hariku. Aku ingin kau tetap tersenyum dengan senyum yang kusuka. Aku cinta padamu…

*Three months later*
“Hyung, sedang apa kau disitu?” Teguran Junsu menarik Jejung dari lamunannya. Ia menoleh lalu tersenyum singkat.
Junsu menghampirinya, menyelimuti bahu Jejung dengan mantel berwarna merah yang di bawanya. “Disini dingin, sebaiknya kita masuk saja.”
Jejung menggeleng, “biarkan aku disini sebentar lagi.”
Junsu masuk kedalam rumah. Jejung duduk di atas salah satu kursi yang terletak di beranda halaman belakang. Angin berhembus, Jejung pun merapatkan mantelnya, melipat tangan di dada rapat-rapat.
Ia mendesah kearah langit, gumpalan asap mengepul keluar dari hidung dan mulutnya. Suhu di luar rumah semakin dingin, sebentar lagi musim salju. Mengingat musim salju akan segera tiba Jejung tersenyum lemah. Ia paling suka dengan musim hujan, tapi seseorang yang ia kenal di masa silam justru menyukai musim salju. Seoul saat bersalju seperti kanvas kosong katanya, yang siap diwarnai.
Langit berwarna hitam buulan kelihatan menakjubkan, meskipun ia membutuhkan matahari untuk membuatnya terlihat indah.
Tiba-tiba Junsu datang lagi.
“Aku tak ingin membiarkanmu sendirian. Kalau-kalau kau membutuhkan bahuku untuk bersandar.”
Jejung tersenyum dengan tulus. Matanya berkaca-kaca. Junsu duduk disamping Jejung dan meraih pria itu, menyandarkan tubuhnya di bahunya.
“Terima kasih, Su-ie.”
Junsu tergelak pelan mendengar nama panggilan baru yang diberikan padanya. Rasanya aneh memang, tapi ia suka. Ia pun semakin mengeratkan pelukannya saat Jejung memeluknya.
“Sama-sama.”
Tiba-tiba salju mulai turun. Diam-diam Jejung menangis tanpa suara saat butiran es yang berjatuhan semakin banyak. Ia berbisik pelan, “aku merindukanmu.”
Kejadian dan perasaan yang pernah singgah ada karena sebuah sebab. Sebab itu pula yang membawa Yunho kembali kepada Jejung meskipun tidak untuk selamanya.

*The End*

Cuap-cuap* waduh gimana tanggapan reader? Maap kalo gak nyambung dari awal sampe akhir. Maap juga kalo endingnya gak sebagus yang diharapkan ☺HË•⌣•HË•⌣•HË•⌣•HË☺..
Gomawo udah baca 🙂


2 thoughts on “[YAOI] THE REASON : final

Leave a comment