Happy Ending chapter 5


Cast :
SHINee – Choi Min Ho
F(x) – Krystal a.k.a Jung Soo Jung
SNSD – Jessica a.k.a Jung Soo Yeon (Krystal’s sister)
F(x) – Choi Sulli a.k.a Kim Yoo Jin
4MINUTE – Kwon Soh Hyun
SHINee – Key a.k.a Kim Ki Bum
KARA – Kang Ji Young a.k.a Kim Ji Young (Key’s sister)
F(x) – Victoria Song a.k.a Choi Hye Jin (Min Ho’s older sister)
Cameo: RHS!!!

Chapter 5

“Soo Jung-ssi,”
Min Ho menatap Soo Jung penuh arti hingga iapun mengeluarkan perkataan yang membuat Soo Jung benar-benar terpaku.
“Saranghae” kata Min Ho dengan tatapan menghanyutkan.

***

“Aah, sial!” teriak Ki Bum refleks. Darah segar keluar dari dua jemarinya.
“Lihat kan? Sudah ku bilang, biar aku yang bersihkan” Ji Young datang dan berjongkok didepan Ki Bum. Ia memperhatikan wajah Ki Bum beberapa detik. “Oppa Kau pucat,” “Aku tidak mungkin sakit Ji Young” Ki Bum berdiri dan berjalan kearah keran, membersihkan luka jarinya agar tidak infeksi. “Bisa habis aku dimarahi Soo Jung kalau aku sampai sakit”

Soo Jung? Ki Bum memperhatikan air yang mengalir dari keran. Begitu cepat, secepat waktu yang berjalan disekelilingnya. Lima hari berlalu, tak mendengar suaranya. Tak melihat senyumnya. Tak tertawa bersamanya. Ki Bum sangat merindukan gadis itu. Ingin sekali memeluknya.

“Oppa. Sekarang kau justru melamun. Kau membuang banyak air” oceh Ji Young benar-benar heran dengan kelakuan kakaknya. Ia berdiri dan membuang serpihan kaca itu ke dalam plastik.

Ki Bum mematikan keran dengan cepat. Kalau begini terus, Ia benar-benar merasa akan menjadi gila.

“Oppa”

Ki Bum menyentuh keningnya, kepalanya terasa berat. Ia tak dapat memfokuskan pandangannya. Semua yang ia lihat menjadi berliuk-liuk aneh dan…
“Oppa!”

BRUK

Gelap.
***

Kejamya hawa dingin di Seoul karena musim salju tidak membuatku bergeming.
Aku melemparkan pandanganku ke sekeliling. Hari makin senja, dimana matahari telah menyelinap dibalik gedung-gedung tinggi. Lampu-lampu kota telah menyala dengan terang menyinari cabang-cabang pohon gundul di pinggiran jalan. Dan suara ramai suara klakson kendaraan yang bersahutan terdengar samar-samar.

Aku menunduk, memandang kebawah. Luas dan curam. Sepertinya aku memilih tempat yang tepat.

Aku selesai.

Ya, semuanya ingin aku akhiri dengan cepat. Aku memang Laki-laki bodoh. Cukup bodoh untuk mengambil keputusan. Tapi, sungguh, aku tidak kuat lagi melanjutkan sisa-sia keputusan bodohku.

“Faktanya, orang tuamu meninggal dan hanya mewariskan hutang mereka padamu!”

“Aku berjanji akan melunasinya”

“Kau anak kecil! Apa yang bisa kau perbuat ha?!“

Ayah, Ibu? Kenapa kalian harus meninggalkan kami begitu cepat? Ya ampun, pekerjaan sambilanku sebagai pengantar Koran mana cukup untuk melunasi semua hutang itu? Bagaimana dengan pendidikan Ji Young? Apa yang harus aku perbuat? Aku sudah muak melakukan hal bejat demi memperolah uang.

”Ya, Ki Beom, kalau kau mau kau bisa bergabung dengan kami”
Aku merutuk. Seharusnya aku cukup pintar untuk berpikir lagi.
“Satu malam, bisa mendapat dua kali lipat kalau kau sedang beruntung”

Bodoh! Kenapa aku harus menerima ajakan ‘mreka’? LIHAT AKU SEKARANG! Sisa manusia yang terbuang, sampah, tak berguna!

Hanya ada satu cara.

“Oppa!!!!!” tangis Ji Young menggema lagi diotakku. “ ‘mereka’ datang lagi dan memberantakan seisi rumah” Aku memeluknya, mencari tau apa ia baik-baik saja. “Opphaa” isak Ji Young dan mengusap kepalaku “kepalamu berdarah” katanya dengan bergetar “ ‘mreka’ memukulmu lagi?”
Aku tidak membuka mulutku. Ji Young tau jawabannya. Ia dapat menerkanya. Dia menatapku sendu dan tangisnya semakin pecah.

Ya, dengan begini, ‘mreka’ tidak akan menerorku dan adikku akan hidup tenang.
Satu-satunya cara agar aku bisa terlepas dari ‘mreka’.
MATI

Aku melangkah pelan keambang tanah curam.
Didasar sana akhir penantian dan keputusanku.
Sampai orang akan menemukan jasadku, dan semua bayang-bayang hitam itu berakhir.

Tarik nafas dalam-dalam, tutup matamu dan ringankan tubuhmu. Ya, sakitnya hanya akan berlangsung cepat, dan kalau aku beruntung aku langsung mati tanpa merasakan perihnya menabrak tanah.

Tanganku terlentang diudara. Butuh beberapa detik untuk menghilangkan rasa takut dan nervousku.

Satu…
Gumamku dalam hati.

Dua…
Ya, Tuhan, apa aku benar-benar akan melakukannya? Secepat inikah aku akan mati?

Ti…
“Kau,” Aku setengah kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh kebawah. Kalau bukan karena tanganku yang menggapai-gapai udara dan mendorong tubuhku mundur satu langkah, mungkin, nyawaku melayang. “Kau tidak kedinginan?” Aku membuka mataku perlahan. Entah sejak kapan, ada gadis ini berdiri sekitar satu setengah meter dari sampingku. Aku tidak kenal siapa dia. Rambutnya hitam panjang diterpa oleh angin. Matanya memandangku lembut dan bercahaya. Gadis itu tersenyum padaku, harus ku akui, senyumnya memang menawan. Tapi apakah Ia lupa kalau kami baru saja 10 detik yang lalu bertemu? Tatapannya itu. Seakan ia sudah dekat denganku sejak lama. Dan cara bicaranya mampu membuat dadaku berdesir tak menentu. Siapa Dia?

“Kenapa? Bukankah kau mau lompat? Lompatlah” katanya ringan.

Ya Tuhan, bibirku kaku seperti es. Lidahku membeku. Mataku tak berkedip. Gila! Setelah membuatku jantungan, dan memecah konsentrasiku, dia menyuruhku lompat?

“Paling tidak, aku bisa sedikit ikut merasakan sakitnya kematian”

Setiap perkataan yang keluar dari mulutnya seakan menghipnotisku.

“Kau lebih takut pada kenyataan dari kematian” katanya lagi. Kali ini ia memejamkan mata, merasakan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya “Lakukan dengan hati, dan tanpa kau sadari, semuanya berlalu dengan sendirinya”

Otakku tersumbat. Aku tak bisa berpikir, aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Bagaimana bisa aku mendengar ucapan orang asing dengan sebaik ini?

Gadis itu menatapku tiba-tiba, membuatku hampir melompat ditempat. Sepertinya ia sadar aku telah memandang wajahnya sedari tadi. Ia tertawa kecil, merogoh saku jaket tebalnya, kemudian mengeluarkan sekaleng minuman kopi susu. Ia sedikit mendekat dan meraih tanganku. “Tadinya aku ingin meminumnya. Tapi sepertinya, kau yang lebih membutuhkannya” Dan ia meletakkan kaleng minuman itu di telapakku. Hangat.

Mataku berpusat pada minuman kaleng itu. Mungkin aku begitu canggung untuk menatap wajah gadis itu. Aku menengadah secaraslowmotion, disampingku tidak ada siapa-siapa. Butuh beberapa saat menyadari gadis itu sudah pergi.

Aku melompat tembok dan menyusuri jalan untuk menyusulnya. Gadis itu memang telah pergi. Ia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Bahkan, aku tidak tau siapa namanya. Yang tertinggal darinya hanyalah sekaleng kopi hangat dalam genggamanku. Aku bahkan tidak berpikir untuk meminumnya. Tapi sepertinya ia benar, aku membutuhkan minuman hangat supaya aku bisa berpikir lebih jernih lagi untuk berkompromi dengan yang namanya kematian.

Siapa dia sebenarnya? Apakah Engkau mengirimkan seorang malaikat padaku?

“Oppa!”

“Oppa!!”

Ki Bum membuka matanya ogah-ogahan. Mimpi? Aku memimpikan kenangan itu lagi?

“Ayo bangun!” teriak Ji Young yang telah siap dengan seragam SMPnya “Kau sudah terlambat”

“Iya, sabar dong adikku sayang” gemas Ki Bum lalu mengacak-acak rambut Ji Young yang telah tersisir rapi.

“Aish” sebal Ji Young dan berusaha menata rambutnya kembali “Oppa, kalau bukan karena ada Soo Jung onnie dibawah, aku akan meneriakimu sepuasnya tau!”

Ki Bum melongo. Ia merasa seakan paru-parunya mengecil sehingga ia sulit untuk bernafas.
“Apa? Apa kau bilang? Soo Jung? Dia dibawah?” Astaga, baru saja dia memimpikannya.

“Onnie, Oppa aku duluan ya… Kalian jangan sampai terlambat!” Pamit Ji Young dan berlari keluar rumah.
“Hati-hati!” balas Soo Jung.
“Ne!”

Soo Jung, duduk di kursi meja makan. Menghentakkan kuku-kukunya sehingga terdengar irama ketukan lembut. Matanya memandang keseluruhan sudut ruang. Ia menyukai rumah ini. Desain rumah yang porposional dan nyaman. Foto-foto kenangan tergantung disana-sini. Pintu geser kayu yang unik. Papan jadwal kegiatan yang mencolok terpampang di pintu kulkas. Lampu yang sedikit redup. Sederhana, hangat dan menyenangkan.

“Hey, ayo, kita juga harus bergegas”
Soo Jung menoleh. Ki Bum terlihat sedang turun dari tangga kecil yang terbuat dari kayu dengan cepat. Dia belum memakai sweater sekolah *biasanyakan seragam korea ada double-an sweaternya gitu* dan mengancingkan kemejanya dengan tidak pas. Dasinya masih longgar, Rambut juga terlihat acak-acakan. Ia benar-benar terlihat buru-buru sehingga membuat salah satu anak tangga kayu berdecit seperti mau jebol.

“Kau terburu-buru sekali” kata Soo Jung dengan senyum khasnya. “Apa kau tidak bisa memakai seragam dengan benar?”
Tanpa persetujuan dari Ki Bum, Soo Jung meraih kancing kemeja Ki Bum dan membenahinya. Dengan lembut ditariknya dasi Ki Bum agar pas dengan lehernya. Ki Bum mengacak rambut Soo Jung.

“Bu-bukankah ini kebiasaanmu setiap pagi? Selalu membenahiku sebelum berangkat sekolah?” katanya lalu memakai sweater putih yang merupakan bagian dari seragam sekolah.

Soo Jung tertawa kecil. “Kebiasaan katamu? Ini, bukankah ini tanggung jawabku mengurus anak kecil sepertimu?” Ki Bum tau ini hanya gurauan Soo Jung, tapi Ia tak mau dibilang anak kecil oleh gadis special dihadapannya ini.

“Kau ini yakin mau kesekolah? Kau juga tidak rapi menyisir rambutmu” Soo Jung menyisir rambut Ki Bum dengan jemari putihnya. “Menunduk sedikit” Ki Bum mengikuti perintah Soo Jung dan iapun menunduk. “Nah selesai”
Layaknya seorang ibu, Soo Jung menepuk pelan kedua pipi Ki Bum. “Perfect”

“Sudah 5 hari kau tidak menghampiriku. Dan semua teman-teman terlihat mengkhawatirkanmu karena tak ada kabar darimu. Sebenarnya kau kemana? Bahkan guru bilang kakakmu menelpon dan hanya meminta ijin. A__”
“Tidak ada waktu untuk menjawabnya. Cepat pakai jas sekolahmu.”
“Tapi__”
Soo Jung sudah menyela Ki Bum lagi dengan mengenakan jas sekolah itu padanya. Dan Ki Bum menghela nafas berat.
“Sepertinya kita terpaksa naik bus. Ayo berangkat.” Ajak Soo Jung.

Ki Bum tidak dapat mendengar apa yang Soo Jung katakan. Ia ingin waktu berhenti disini. Hanya dia dan Soo Jung.

“Ki Bum!” teriak Soo Jung “Cepat!”
Ki Bum segera mengambil kunci diatas meja dan keluar rumah.

“Hey, kau sakit? Kau pucat” Soo Jung menyentuh dahi Ki Bum. “Kata Ji Young kau kemarin pingsan? Apa sebaiknya kau tidak usah berangkat dan___”
“Ti-tidak, aku sehat-sehat saja.” Ia meraih tangan Soo Jung dan menggandengnya erat. Ia memang merasa sedikit demam dan tidak enak badan dari kemarin. “Ayo, berangkat.”

Sesuatu membuat Ki Bum tercekat. Sambil terus berjalan, ia memandang Soo Jung yang sedang tersenyum lepas disampingnya. Entah ini hanya perasaannya saja. Tapi kenapa? Kenapa tangan Soo Jung, rasanya lebih dingin dari hari terakhir ia menyentuhnya. Ganjil.
“Soo Jung, sepertinya justru kau yak sakit. Tanganmu sedingin es”
Senyum Soo Jung meredup perlahan.
“Mungkin karena kau demam, jadi sepertinya begitu”

Benarkah? Bukan karena hal lain? Jung Soo Jung, apa kau merahasiakan sesuatu dari ku?

Soo Jung merapatkan jas seragamnya, sedikit kedinginan. Sesekali ia menengok keluar jendela bus. Melihat jalan raya yang ramai. Dan sinar matahari yang mulai menyebar ke seluruh pelosok jalan. Ki Bum berpikir sesaat lalu berbicara padanya.

“Serahkan tanganmu”

“Eh?” Soo Jung tidak mengerti tapi dia tetap melakukan apa yang Ki Bum suruh.

Ki Bum meraih tangan kanan Soo Jung dan menggenggamnya.

“Akan ku hangatkan” kata Ki Bum lembut.

Soo Jung tersenyum. Senyum khas yang Ki Bum rindukan. “Gomawo” bisiknya. Iapun kembali menengok ke luar jendela lagi sehingga Ki Bum hanya dapat memandang pantulan wajahnya dari jendela.

“Andai kau tahu perasaanku sebenarnya kepadamu” gumam Ki Bum lirih. Soo Jung menoleh, ia merasa Ki Bum berbicara dengannya.
“Ki Bum kau berbicara padaku?”
“Ti-tidak” kata Ki Bum berusaha tenang.

Soo Jung, apakah kau mau selalu disisiku seperti ini selamanya?

***

Di halaman sekolah

Pemuda berpostur tinggi dan berwajah dingin itu menendang kerikil yang berselimut salju didepannya.

“Aish, mana anak itu?” katanya dengan gundah dan mengecek jam tangan. Sepuluh menit lagi, bel masuk berbunyi.

“Ya, kau sedang apa?” Min Ho menahan napasnya seperkian detik. Itu Cho Sung Mo, teman laki-laki sebangkunya, sekaligus ketua kelas. Tapi cara Min Ho memandangnya, tak terlihat menganggapnya teman. “Sepuluh menit lagi, ah tidak, 9 menit 50 detik lagi, eh, maksudku 9 menit 49 detik lagi masuk. Aku tidak mau untuk keseperkian kalinya guru bertanya padaku dimana dirimu. Dan jka kau telat masuk, aku juga tetap kena getahnya. Dan ini,” Sung Mo menyodorkan jas seragam yang terlipat rapi “seragammu yang tak rapi dan tak lengkap bisa jadi bom untukku”

“Bisakah kau diam?” Tatapan membunuh Min Ho membuat Sung Mo terlonjak.

“Ya, berhenti memandangku seperti itu. Tinggimu hanya lebih satu senti dariku.”

“Itu tidak ada hubungannya dan___”
Min Ho terdiam, matanya panas, dadanya perih. Tatapannya tertuju pada satu sosok. Pada seseorang yang telah memasuki pintu gerbang sekolah. Soo Jung.

Soo Jung tidak sendirian. Seorang laki-laki tengah merangkul pundaknya dengan bebas. Mengangkat sebuah tas tinggi-tinggi. Dan menyandarkan kepalanya ke samping kepala Soo Jung membuat anak itu terlihat keberatan dan mau jatuh. Kim Ki Bum

“Aih! Kau berat! Kembalikan tasku” rengek Soo Jung.
Ki Bum mencubit pipi Soo Jung gemas.
“Hentikan mencubitku lagi Ki Bum-ah” sebal Soo Jung “Kau akan menyesal nanti”
“Salah sendiri pipimu begitu menggemaskan Ha.” Balas Ki Bum tidak mau kalah.

Tap

Dengan sigap Min Ho meraih bergelangan tangan Soo Jung.
“Soo Jung-shi, aku mau bicara”
Soo Jung membuka matanya lebar-lebar.
“Tidak bisa sekarang. Sebentar lagi _____” Tanpa menunggu penjelasan Soo Jung, Min Ho langsung menariknya.
Belum ada satu langkah Ki Bum menahan tangan Min Ho.
“Kau tidak dengar ya Soo Jung bilang ‘tidak bisa sekarang’ Choi Min Ho” kata Ki Bum dengan ekspresi ramah.
Min Ho mendengus, dadanya terasa terbakar dan bergejolak.
“Ini urusan kami berdua” kata Min Ho tajam “ja-ngan i-kut cam-pur”
Min Ho mencengkram pergelangan Soo Jung dengan kasar, menariknya masuk kedalam gedung.
“Soo Jung aku tunggu dikelas!!!” teriak Ki Bum.
“Hah, hari ini aku harus menyiapkan diri menghadapi ocehan guru” derita Sung Mo dari kejauhan.

Min Ho berjalan dengan cepat dan langkah yang panjang. Dibelakangnya ada Soo Jung yang terengah-engah ditariknya. Suasana lorong sudah sangat sepi. Jelas, karena sekolah ini terkenal dengan kedisiplinannya, anak-anak sudah masuk kedalam kelas.

Brak

Pintu ruang musik terbuka dengan keras. Min Ho menarik Soo Jung lagi dan menghimpitnya ke tembok. Min Ho menyangga tubuhnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya diatas melingkar dipinggul Soo Jung.

“Min Ho-sshi, sebenarnya ada apa?” Tanya Soo Jung tidak mengerti. Dadanya naik turun. Tubuhnya seakan kehabisan energi. Ia mengusap pergelangannya yang merah karena dicengkram kuat oleh Min Ho.

“Aku,” Min Ho mendekatkan wajahnya perlahan “Tidak bisa melihatmu begini”

“Kau ini kenapa?” Soo Jung sedikit bergeser, ia tidak menyukai posisi yang terlalu dekat dengan Min Ho seperti ini “Kau sangat kasar tadi. Hmm, pasti Ki Bum sedang mengkhawatirkanku sekarang”

Min Ho mencegah Soo Jung beranjak dari tempatnya. Dia menarik tangan Soo Jung, dan menekan tubuhnya membuat gadis itu terhimpit antara tembok dan tubuh Min Ho. Sepertinya kata ‘Ki Bum’ yang keluar dari mulut manis Soo Jung membuatnya tak ingin melepas gadis ini.

“Bisakah, jangan menyebut nama laki-laki lain ketika hanya ada aku di depanmu?”
“Kenapa sebenarnya? Apa kau membenci Ki Bum? Dia laki-laki baik, bukankah kalian telah berkenlan sebelumnya dan____”
“Ki Bum?” wajah Min Ho makin mendekat. Ujung hidung mreka berdua saling bersentuhan. “Apa sebegitu pentingkah dia bagimu?”

“Min Ho, aku___”

“Ssst” desis Min Ho, jemarinya meraba bibir Soo Jung. “Apa kau menganggapnya laki-laki baik karena dia telah memilikinya lebih dulu?”

“Kau___”

“Atau karena kau telah melewatkan malam yang indah bersamanya?”

“AKU aku BUKAN wanita seperti itu! Sebenarnya kau ini kenapa?!” tanya Soo Jung tegas, raut wajahnya melukiskan kebingungan dan kemarahan.

“Aku gila.” Gumam Min Ho dalam hati seperti kerasukan setan. “Gila karena kau.”

Soo Jung hampir berbicara. Tapi Min Ho telah ‘mengelus’ pipi Soo Jung dengan hidung mancungnya.
“Min Ho-sshi,” Soo Jung mendorong dada Min Ho agar wajahnya menjauh “kau tak mau kita dilihat guru berduaan seperti ini kan?”
Min Ho tidak dapat menangkap perkataan Soo Jung dengan baik, suaranya terdengar menggema tak jelas dalam otaknya. Ia menunduk, menghirup wangi Soo Jung, lalu membuat bibir dan pipinya bergesekan dengan leher putih Soo Jung.
“Min Ho!!!” dorong Soo Jung lagi. “Ah!” Min Ho menangkap kedua tangan Soo Jung dan mengangkatnya segaris dengan tinggi Soo Jung. Ia menahan kedua tangan Soo Jung itu ke dinding.

Min Ho ingin memandang Soo Jung lebih lama. Matanya mendamaikan tiap orang yang memandang. Bulu matanya lentik. Bibirnya sempurna. Manis dan kemerahan.
Soo Jung membasahi bibirnya terlihat gugup ketika Min Ho mengawati wajahnya begitu lama. Tapi itu justru membuat jantung Min Ho seperti ingin melompat keluar.
“Aku-aku” Min Ho tak bisa mengatur deru nafasnya. Otaknya serasa ringan dan kosong.

“Sebentar lagi bel akan berbunyi Min Ho” ujar Soo Jung, tapi laki-laki itu tidak bergeming.

Min Ho menginginkan bibir itu lagi. Ia ingin merasakan lembut dan manisnya. Melumatnya.

Teeeeeet Teeet

Bel sekolah berbunyi menggema di lorong-lorong.

Dengan enggan, Min Ho menarik wajahnya menjauh dari muka Soo Jung.

dan kau bisa-bisa lupa, antara nafsu dan cinta

“Maaf” hanya kata itu yang bisa Min Ho lontarkan. “Maafkan aku”

***

“Benarkah Soo Jung masuk sekolah hari ini?” tanya salah seorang siswa pada Ki Bum.
“Dia datang, tadi kami berangkat bersama. Mungkin ia telat”
Semuanya saling pandang.
“Ki Bum-sshi, kau sepertinya mengigau, lihat kan dia tidak datang? Ini sudah hampir jam ke 3” terang Yoo Jin.
Ki Bum memandang tas Soo Jung disampingnya. Tapi aku membawa tasnya. “Ini pasti karena______”

Dengan sigap Min Ho meraih bergelangan tangan Soo Jung.
“Soo Jung-shi, aku mau bicara”
“Tidak bisa sekarang. Sebentar lagi _____” Tanpa menunggu penjelasan Soo Jung, Min Ho langsung menariknya. Belum ada satu langkah Ki Bum menahan tangan Min Ho.
“Kau tidak dengar? Soo Jung bilang ‘tidak bisa sekarang’ Choi Min Ho” kata Ki Bum dengan ekspresi ramah.
Min Ho mendengus, dadanya panas.
“Ini urusan kami berdua” kata Min Ho tajam “jangan ikut cam-pur”

“Karena apa?”

Tiba-tiba Ki Bum berdiri dari bangkunya. Tatapan matanya aneh, wajahnya terlihat lebih pucat dan mengkhawatirkan.
“Kalau Bu Hwang mencariku, bilang saja, aku ijin ada urusan” kata Ki Bum kemudian berlari keluar kelas.

***

Dari kejauhan ada sebuah titik hitam yang mendekat sangat cepat. Terlihatlah bahwa titik itu adalah seorang pemuda yang sedang mengendarai motor besar dengan model canggih dan dengan kecepatan tinggi lincah berkelok-kelok menghindari satu, dua, atau tiga kendaraan yang menghalangi jalannya. Ia menggunakan helem standar yang hanya memperlihatkan mata tajamnya. Tak jauh beberapa meter dibelakangnya muncul dua mobil dan dua motor hitam berlambang huruf C yang seperti mengejar.

Pemuda itu menaikkan kecepatan motor. Ia sepertinya ahli dalam masalah mengebut.

Ciiit…

Ia membelokkan motornya secara tiba-tiba ketika sebuah mobil berjenis sama seperti jenis mobil yang mengejarnya, berhenti lima meter didepan dengan arah horisontal menutupi jalan. Ia sempat kehilangan kendali motornya.

Ciit… Ciiitttt,
Kali ini dua mobil yang menghalanginya dari arah pertigaan. Hanya ada dua pilihan, menyerahkan diri atau tabrakan.
Pemuda itu terjebak.
Tapi di luar dugaan, Ia mengarahkan motornya terus melaju kencang di antara sela dua mobil yang terhitung sempit untuk dia lewati. Dan, Astaga! Ia mengangkat kedua kakinya ke atas, dan berlari di atas kap depan salah satu mobil. Pemuda itu melompat, kembali lagi ke jok motor sedikit oleng. Hanya beberapa detik, dia meraih lagi keseimbangannya lalu menaikkan kecepatan. Menakjubkan.

“Kalian pikir bisa dengan mudah mencegahku?” gumamnya penuh kemenangan.

Dari dalam mobil yang mencegatnya tadi keluar beberapa petugas menggunakan jas rapi berwarna hitam.

“Sial, kita kehilangan dia lagi”
“Cepat hubungi Tuan besar Choi, jangan sampai Tuan Muda Jong Hun lari lagi dari acara perjodohannya”
***

Soo Jung memejamkan matanya. Kemudian menghirup udara dingin yang seperti menghujam paru-parunya. Ia sedang berada di atap sekolah. Tempat yang ia sukai, bisa memperhatikan pemandangan yang lebih luas. Tempat dimana angin dapat bermain bersama rambut panjangnya diudara. Sekilaas bayangan dalam otaknya membuat Soo Jung merasa jantungnya akan meledak.

Ia masih bisa mengingat pandangan mata Min Ho tadi. Tajam dan menusuk.

“Sebenarnya ada apa dengan dia?”


“Ki Bum?”

“Apa sebegitu pentingkah dia bagimu?”

“Apa kau menganggapnya laki-laki baik karena dia telah memilikinya?”

“Atau karena kau telah melewatkan malam yang indah bersamanya?”

Soo Jung menahan nafas Faktor kecemburuan?

Ia memandang ke langit yang sedang berselimut awan.

“SooJung, kau bodoh, kenapa kau sampai membuatnya mencintaimu?”

“Soo Jung, kau disini”

Soo Jung membalikkan badannya, tampak kaget melihat Ki Bum sempoyongan berjalan kearahnya.

BRUK
Tubuh Ki Bum jatuh ke arah Soo Jung dengan tiba-tiba. Kepala Ki Bum bersandar dipundaknya.

Soo Jung memeluk Ki Bum menyangga tubuhnya agar tidak jatuh.

“Ya Tuhan!, kau panas” kata Soo Jung ketika mengecek dahi Ki Bum.
“Aku mencarimu dari tadi, aku menemukanmu, akhirnya”
“Kau mencariku?”
Soo Jung memutar badan Ki Bum dan memapahnya.
“Jangan pergi lagi, aku benar-benar mengkhawatirkanmu bodoh!” Ki Bum setengah mengigau ketika Soo Jung membawanya menuruni tangga.

***

Ki Bum membuka matanya. Samar, ia dapat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 2 sore. Ia tak ingat apa yang terjadi, dan tiba-tiba ia sudah dikamarnya sendiri.

Seseorang yang menggenggam tangan kanan Ki Bum membuatnya sadar. Ada Soo Jung yang sedang tidur disamping ranjangnya. Wajahnya saat tidur sangat polos dan terlihat lebih bersinar.
Ki Bum menepuk pipi Soo Jung bermaksud membangunkannya. “Soo Jung, kau ketiduran”
“Kau sudah bangun?” Soo Jung mengusap-usap matanya.
“Kau, kau kenapa ada disini? Maksudku___”
“Kau ini, aku sudah bilang kau itu sakit” ucap Soo Jung terlihat khawatir dan juga marah.
“Hey Hey, aku baru saja sadar dan langsung kau marahi” sela Ki Bum dengan tertawa yang dipaksakan.
“Kau tidak tau betapa khawatirnya aku, tiba-tiba kau pingsan dan menubrukku, tapi sekarang kau justru menertawaiku” sebal Soo Jung.
Soo Jung-sshi seberapa jauh kau mengkhawatirkan aku? Apa sama seperti dalamnya aku mengkhawatirkanmu?

“Sekarang kau malah terdiam, apa yang kau pikirkan?”
Ki Bum menggeleng. Kenapa sulit sekali untuk mengungkapkannya? Kenapa seperti ada yang menjahit mulutnya untuk bungkam dan mengunci rasa itu terpendam begitu lama?

Soo Jung menyentuh dahi Ki Bum. Sudah sedikit lebih dingin dari tadi malam.
“Soo Jung”
“Hmm?”
“Kau baik-baik sajakan?”
“Ehm,” jawab Soo Jung singkat. Bukankah Soo Jung yang seharusnya bertanya seperti itu?
“Tadi pagi, Choi Min Ho?” tanya Ki Bum hati-hati “Apa yang kalian bicarakan?”
Soo Jung mengambil kain kompres dalam baskom berisi air hangat dan memerasnya
“Entahlah. Aku juga tak mengerti. Dia sepertinya hanya ingin memandang wajahku lama-lama”
Ki Bum bernafas lebih lambat. Dadanya seakan terhimpit dan sulit untuk bernafas. Sepertinya ada alat kecil yang telah mengubah Oksigen menjadi Karbondioksida dalam paru-parunya.
“Ya, kau sudah memperkirakan sebelumnya Ki Bum, kenapa rasanya sangat berat untuk mengakuinya?”
Soo Jung menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahi Ki Bum lalu meletakkan kain kompres diatasnya.
“Sepertinya, kau harus potong rambut” keluh Soo Jung. Iapun kembali duduk di kursi samping ranjang Ki Bum.

“Min Ho, dia laki-laki yang tampan” Orang pasti menganggap Ki Bum mengidap penyakit elektromagnetik di otaknya. Gila saja, bagaimana bisa ia memuji Choi Min Ho? Pada hal dengan amat jelas ia sendiri tau Min Ho adalah laki-laki yang bisa membuat Soo Jung menjauh darinya? “Walau terlihat emosional, aku yakin dia pria yang lembut.”
SooJung mengangkat salah satu alisnya, dia tertawa.
“Apa sih yang kau bicarakan?”

“Dan kalian,” lanjut Ki Bum tanpa menatap Soo Jung “kalian berdua bergelut dalam bidang yang sama.” Soo Jung menelan ludah. “Kau dan dia adalah pianis berbakat”

“Aku, aku tidak bermain lagi Ki Bum-sshi, bukankah sudah ku katakan berulang kali padamu?” ujar Soo Jung tegang. Apa ia harus berbohong lagi? “Aku sudah tidak tertarik” Soo Jung menggigit lidahnya dalam diam. Itu salah, ia masih menyukainya. Tiap malam, di balik selimut hangatnya, selipan memori saat jemarinya mengalunkan dentingan nada terkias jelas ke dalam mimpinya. Ia selalu dan tak kan pernah berhenti mengagumi getaran nada melengking, nada khas piano yang dulu selalu menemani kesunyian harinya. Tapi sekarang tidak. Jung Soo Jung, harus belajar melupakan cita-citanya.

“Tidak, aku kenal kau Jung Soo Jung. Kau bukan tipe wanita yang mudah mengatakan ‘sudah tidak tertarik’. Aku tidak akan percaya kalau kau meninggalkan duniamu begitu saja. Kau hampir dipuncak. Dan tiba-tiba mundur? Aku benar-benar tak megerti apa yang kau pikirkan saat Bu Kim mencalonkanmu. Dengan mudahnya kau mengundurkan diri?” Ki Bum di luar kendali. Ia berbicara seakan Soo Jung adalah sebuah karya ilmiah yang sedang ia presentasikan “Dan saat kau memperkenalkan padaku Choi Min Ho. Aku yakin kau tak hanya ingin berteman dengannya. Kau mempunyai maksud lain?”

Soo Jung membuka mulutnya ingin bicara. Tapi kemudian ia mengatupnya lagi. Apakah ia harus berdusta lagi?
“Dan kalau tebakanku benar” Lanjut Ki Bum dengan getir “kau belum mengatakan padanya bahwa dia adalah cadangan yang menggantikan kau. Iyakan?”

Soo Jung menunduk, matanya berair. Berbohong itu ternyata sangat menyakitkan. Dan aku tak tau harus berkata apa. Belum saatnya kau mengetahuinya. Jangan paksa aku untuk mengatakannya

Ki Bum menarik nafas panjang. “Tatap mataku dan jawab pertanyaanku. Apa kau melakukan itu semua karena kau menyukai Min Ho?”

Soo Jung menggigit bibirnya menahan agar air matanya tidak meleleh. Dia gadis kuat. Selama ini dia cukup kuat untuk menjalani sisa kehidupannya. Paling tidak, sedikit sandiwara lagi, agar ia bisa pergi dengan tenang.

“Ki Bum-sshi” kata Soo Jung dalam hati “Apapun yang aku lakukan, adalah yang terbaik untuk semua temanku. Yang aku inginkan, pada akhirnya adalah kebahagiaan. Tidakkah kau mengerti? Aku tidak mungkin jujur padamu”

“Jawab aku” kata Ki Bum hampir sebuah bisikan. Ia seperti terpaksa mengatakannya.

“Kau-kau tunggu sebentar,” Soo Jung beranjak dari kursi, memperlihatkan ia ingin menghentikan pembicaraan ini “aku akan ambilkan makanan dan obat. Aku juga ingin memberitahu Ji Young kau sudah sadar, ia sangat mengkhawatirkanmu” Soo Jung berbalik meraih kenop pintu, memutarnya dengan galau, lalu membukanya perlahan.

“Soo Jung-sshi” Ki Bum mendudukkan badannya susah payah, membiarkan kain kompres yang tadi menempel didahi jatuh kepangkuannya.
Soo Jung berhenti bergerak. “Ya” katanya parau tanpa berbalik. Butiran air mata telah berada di ambang bulu mata. Sampai kapan ia bisa menahan tangisnya?

“Aku punya satu pertanyaan lagi” ucap Ki Bum tanpa melepas sorotan matanya dari sosok Soo Jung yang berdiri sekitar dua meter dari tempat tidurnya “Ketika kau mengajak Min Ho ke Toko Bubur. Apa kau sengaja? Agar ia cemburu? Maksudku apakah kau, kau, ka___”

“Apakah aku memanfaatkanmu? Itukan yang ingin kau tanyakan?” sela Soo Jung cepat dan lugas.

Ki Bum mengerti kalau dia terlalu dalam bertanya dan membulatkan kesimpulan begitu saja. Sekarang atau tidak selamanya. Lebih baik ia sakit hati sekarang, dari pada perih itu berangsur lama karena ia pendam terlalu dalam.

“Ki Bum-sshi” panggil Soo Jung begitu datar. Ia menoleh, memandang hangat Ki Bum dan tersenyum “Aku bukan wanita seperti itu” Soo Jung melangkahkan kakinya ke luar kamar dan menutup pintunya.

Ki Bum meremat ujung selimut tebal yang menutupi kaki sampai pinggangnya. Ditatapnya perih pintu kayu yang telah tertutup itu.

“Aku bukan wanita seperti itu”
Mengingat wajah Soo Jung saat mengatakannya membuat Ki Bum ingin menjatuhkan diri ke lautan. Soo Jung tak bisa menutupinya dengan senyum itu. Jelas terlihat pipi Soo Jung basah.

“Ki Bum bodoh” geram Ki Bum “kau telah membuat gadis yang kau suka menangis”

***

TBC

Kyak Kyak Kyakkkk

Thennnnnnn
Terjawab sudah. Aku pikir kalian bertanya2 Jong Hun mah sopo kuwi? Bukan Jong Hyun oke? Ini Jong Hun FT Island. Pas gw liat Piku2na, cucok juga nieh Ama tipe orang yang pengen gw buat disini. Dingin, nakal, ramah, tapi sederhana, yeah gw suka matanya X3. Nah kenapa ada pemain baru? Itu ada maksudnya kok, tp RHS oce?

Aku ga tau temen2 suka apa enggak dengan konflik panjang yg gw buat. Aku cm pengen kalian ga bisa nebak endingnya ajah. And biar cerita ini bertipe klassik ceria, tp mian buat yang ga suka ^^

Bagi sapapun yang mw memberi kritikan, cemohan, saran, racun, akan saya terima dengan tidak suka rela *digampar HEDer’s*
Happy Ending Reader’s
XD XD XD XD XD

http://supergeneration22.blogspot.com
http://okta139.blogspot.com


4 thoughts on “Happy Ending chapter 5

  1. wawwwww…. nongol juga ni ff,,,
    ayo dong semangat author,, next part jgn lama2,,,
    untung aku maseh ingat ceritanya ni,, soalnya ceritanya menarik..
    eh tadi pas minstal skinship,, gtw kenapa kok aku gak bisa nafas yah,,, ikutan deg degan,, kirain minstal cipokan,, hehehe

    Like

Leave a comment