Just Stay by My Side (Part 5)


Author : Riana (hanraena.wordpress.com)

Cast :

Lee Dong Hae
Im YoonA
Lee Hyuk Jae
Kim Hyo Yeon

Just Stay by My Side

Part 5

YoonA membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia tetap bertahan meskipun udara
yang begitu dingin menyelimuti seluruh tubuhnya. Ia kembali focus ke arah jalan
yang ditujunya.
Terdengar suara binatang malam yang membuat suara gaduh diantara rerumputan
tinggi yang dilaluinya. Ia tak juga merasa takut meskipun anjing mengonggong yang
terniang di telinganya. Motor scooter yang baru didapat dari ayahnya itu melaju
membawanya menuju suatu tempat yang Dong Hae inginkan. Sesekali YoonA
mencuri pandang, melihat laki-laki yang duduk di belakangnya. Laki-laki itu
berpegangan erat pada bahunya, tangan laki-laki itu juga yang menghangatkannya.
“Dong Hae!” Panggilnya.
“Kenapa?” Suara Dong Hae terdengar serak.
“Sebenarnya kita mau kemana? Dari tadi kau terus berkata ‘Jalan saja’.”
“Sebentar lagi kita akan sampai. Bukankah kau ingin bersenang-senang?”
“Apa kita akan ke taman hiburan? Tapi mana ada Taman Hiburan yang buka
malam-malam begini?” Terka YoonA.
“Nanti kau juga akan tahu.” Akhir Dong Hae.
YoonA menggeram kesal. “Dasar!” Gumamnya.

Matanya takjub dan tak berhenti menatap sebuah sekolah taman kanak-kanak
yang didesain dengan sangat apik, tiap dinding luarnya di cat dengan berbagai warna
pelangi dan diberi gambar animasi. Meskipun saat itu langit gelap, tapi lampu-lampu
di sekitar memberikan cahayanya untuk menerangi seluruh sudut.
Di atas gerbangnya bertuliskan “Selamat Datang Para Murid Tersayang – Mari
Kita Belajar dan Bernyanyi Bersama.”
“Wah . . .” YoonA berdecak kagum. “Taman Kanak-Kanak ini bagus sekali.
Pemiliknya pasti sangat menyukai anak-anak.” Terkanya, Ia berhenti sejenak lalu
mematikan mesin motornya.
Dong Hae turun dan melepaskan helmnya, wajahnya masih terlihat begitu kusut.
“Apa kau ingin menunggu disini?” Tanyanya.
“Tentu saja tidak. Ayo bawa aku masuk ke dalam! Aku ingin sekali melihatlihat.”
YoonA begitu gembira. Ia tampak sangat bersemangat, lalu mendirikan stander
motornya.
“Ikuti aku!” Perintah Dong Hae.
Dong Hae melangkah gontai diikuti YoonA di belakangnya. Perlahan mereka
mengendap-endap melalui jalan setapak yang terdapat disamping sekolah. Mereka
mengecilkan suara langkah mereka agar tidak terdengar.
Dong Hae lekas memanjat pagar dan melompatinya, Ia lebih dulu berada di
halaman belakang sekolah itu.
“Tunggu aku!” YoonA bergegas dari luar pagar.
“Cepat naiklah!” Perintah Dong Hae meminta YoonA untuk memanjat.
“Apa kau yakin? Bagaimana kalau aku jatuh? Apa kau mau bertanggung jawab?”
YoonA yang tampak ragu begitu ketakutan.
“Cerewet. Cepat naiklah! Kalau kau tidak mau, kau tunggu disitu saja.” Dong
Hae tidak mau berpanjang lebar.
“Baiklah, baiklah.” YoonA menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan
seluruh kekuatannya. Tangan dan kakinya begitu gemetar, Ia coba memberanikan diri
memanjat pagar.
Tiba-tiba Ia menghentikan niatnya untuk melompat, matanya berputar dan
kepalanya begitu pusing melihat dari ketinggian. “Ada apa denganku? Kenapa
rasanya aku ingin pingsan.” Ia sambil memegangi kepalanya.
“Cepatlah! Waktu kita tidak banyak.” Dong Hae mulai kesal.
“Sepertinya aku akan jatuh.” YoonA yang berdiri di atas pagar mulai merasakan
tubuhnya tak terkendali dan diluar kuasanya.
“Tenang saja. Aku akan menangkapmu.” Dong Hae menyiapkan kedua
tangannya.
YoonA pun memejamkan matanya, tangan dan kakinya gemetaran. Ia tetap
memberanikan diri dan percaya bahwa Dong Hae akan menangkapnya di bawah sana.
“A ….” Teriaknya.
Dong Hae mengerahkan seluruh kekuatan untuk menangkap gadis itu.
Sedikit demi sedikit YoonA membuka matanya, Ia begitu terkejut menemukan
dirinya yang menimpa Dong Hae. Kepalanya terjatuh tepat di atas dada laki-laki yang
sangat disukainya itu. Ia lekas menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia terus coba
menyimpan raut wajahnya yang bahagia, jantungnya berdetak dengan sangat cepat.
“Sampai kapan kau akan terus seperti ini?” Ucap Dong Hae dengan tegas.
“Maafkan aku!” YoonA lekas bangkit dan berdiri lalu membungkukkan
punggungnya untuk minta maaf.
Dong Hae segera bangun sambil mengelus dadanya yang sakit. “Apa kepalamu
itu terbuat dari bata?” Ejeknya.
“Ah . . . apa kau terluka?” YoonA mulai cemas. Ia dengan wajah bersalahnya
kembali mendekati Dong Hae masih terduduk di atas halaman yang dilapisi dengan
batako.
“Sudahlah. Aku tidak apa-apa.” Dong Hae mengacuhkan YoonA yang
menawarkan tangan untuk menolongnya berdiri.
YoonA pun kembali menyimpan tangannya.
Dong Hae lekas berjalan memasuki wilayah sekolah dengan berani, Ia begitu
percaya diri melangkahkan kakinya mendekati tiap ruangan yang ada disana. YoonA
hanya terus mengikutinya dari belakang. Mereka pun mulai mengelilingi tempat itu
dan tak menggubris larangan bahwa orang asing tidak boleh masuk kesana.

Ruangan itu dikhususkan untuk Para Murid yang duduk di bangku Nol Besar. Di
dalamnya terdapat berbagai macam gambar yang menempel di dinding. Langit-langit
ruangan itu dihiasi dengan berbagai macam origami seperti burung, pesawat, juga
kupu-kupu. Tampak lipatan origami itu bergantungan disana dan terkadang bergerak
seperti benda hidup saat angin berhembus meniup.
Dong Hae lekas menutup pintu ruangan itu rapat-rapat. Matanya tertuju pada
piano yang terletak tepat di depan kelas, dekat papan tulis. Ia membuka penutupnya
lalu bersiap memainkannya. YoonA yang baru saja menyalakan lampu agar dapat
menerangi ruangan, lekas duduk disampingnya dan tak berniat untuk ikut memainkan
piano itu.
“Mau ikut bermain?” Tawar Dong Hae menatap lembut ke dalam mata YoonA
yang tak berhenti memandanginya.
YoonA menggelengkan pelan, “Aku tidak begitu lihai memainkan piano.”
“Kau ingin request lagu apa? Aku akan memainkannya untukmu?”
“Aku sangat berterimakasih pada Tuhan yang memberikan kesempatan padaku
untuk bisa berada di dekat Dong Hae di malam yang indah ini. Dia orang yang sangat
sulit ditebak, apapun yang dilakukannya tak satu orang pun yang tahu. Aku akan terus
berusaha untuk memahaminya.” Batin YoonA, Ia tersenyum lembut membalas
tatapan Dong Hae. “Lagu apa?” YoonA mulai berpikir. “Akhir-akhir ini aku sangat
senang mendengar lagu BoA – Romance.” Ucapnya.
“BoA – Romance.”
YoonA mengangguk dengan cepat.
“Baiklah kau yang bernyanyi dan aku memainkan piano untukmu.” Dong Hae
mengiyakan.
“Apa?” YoonA terkejut. “Aku pikir kau juga akan bernyanyi untukku.”
“Jangan bodoh! Kau bukanlah orang yang begitu istimewa sampai aku juga harus
bernyanyi untukmu.” Dong Hae kembali membuat YoonA merautkan wajah
masamnya.
“Aku akan bernyanyi. Jangan salahkan aku kalau setelah ini kau akan mengalami
gangguan di telingamu setelah mendengar suaraku.” YoonA memperingatkan.
Dong Hae tertawa kecil. “Kau pasti bercanda.” Ia pun mulai menekan tuts piano
sambil mengingat nada lagu itu, aura terpancar di wajahnya. Tubuhnya di kelilingi
cahaya terang yang membawa kedamaian. Kepalanya bergerak mengikuti tiap irama,
Ia terlihat sangat menikmati ketenangan di dalam ruangan yang sunyi senyap, jauh
dari keramaian dan segala macam masalah yang mengusik hidupnya.
Sepertinya memandangi Dong Hae dari samping sudah menjadi kebiasaan yang
sulit untuk dihilangkan. YoonA selalu saja berharap agar sekali saja bisa menyentuh
wajah yang kekanak-kanakan itu. Ia terus terpaku dengan mulut terkunci, alunan nada
dari piano itu membuatnya terlena dan tak mau beranjak.
“Hi! Kenapa kau tidak juga bernyanyi?” Suara Dong Hae mengejutkan
lamunannya.
“Apa?” YoonA tersentak kaget, Ia lekas mengalihkan pandangannya.
“Nadanya sudah memasuki lirik di bait pertama, tapi kau tak menyanyikan
sedikitpun lagu ini. Bukahkah kau sendiri yang meminta untuk dimainkan lagu
Romance.” Ucap Dong Hae dengan nada sedikit kasar.
“Maafkan aku! Tiba-tiba saja aku lupa dengan lirik lagunya.” YoonA sambil
menggaruk kepalanya. “Biasanya aku mendengarkan lagu ini saat ingin tidur. Jadi
saat lagu ini terdengar di menit pertama, aku pasti sudah tertidur pulas.” Jelasnya.
“Maksudmu, lagu ini adalah lagu penghantar tidur. Bukan begitu?” Dong Hae
coba memperjelas.
YoonA mengangguk mengiyakan. “Betul sekali.” Ia tersenyum kecil.
“Bagaimana kalau lagu Na Yoon Kwon & IU?”
“Bukankah itu lagu duet?”
“Benar. Jadi kita bisa bernyanyi bersama.”
“Sepertinya itu ide bagus.” Dong Hae tanpa berpikir panjang langsung setuju.
“Tapi kau harus sedikit berhati-hati mendengar suaraku.” YoonA kembali
mengingatkan.
“Kalau suaramu jelek, aku akan segera memintamu untuk berhenti bernyanyi.”
Tegas Dong Hae. Ia pun mulai mengingat lagi nada lagu itu, lalu memainkannya.
Terdengar nada yang bersatu membentuk sebuah irama yang mengalun begitu
indah.
“어쩜 우리 어쩜 지금 어쩜 여기 둘이 됐을까요, 흐르는 시간, 별처럼 많은 사람
속에.” Dong Hae menyanyikan lirik lagu di bait pertama.
“말하지 않아도 우리 마주 본 두 눈에 가득 차 있죠. 이젠 그대 아플 때
내가 이마 짚어줄 거예요. 겁내지 말아요, 우리 꿈처럼 설레는 첫사랑이죠.
조심스럽게 또 하루하루 늘 차곡차곡 사랑할게요.” YoonA pun mulai
menunjukkan kemampuannya bernyanyi, Ia mengiringi suara Dong Hae yang begitu
lembut dan merdu.
“You’re my first love.” Mereka mengakhiri lagu itu.
“Beruntung aku masih punya telinga cadangan jadi aku bisa menggantinya untuk
sementara waktu saat mendengar suaramu yang jelek itu.” Dong Hae mengeluarkan
keahliannya mengejek orang lain.
“Bukankah aku sudah bilang, suaraku tidak bagus.” YoonA membela dirinya.
“Kasihan sekali lagu yang indah seperti ini dinyanyikan olehmu.” Dong Hae
semakin membuat telinga YoonA panas dan geram.
“Hi! Berhentilah menghinaku.” YoonA merengutkan wajahnya.
Dong Hae pun tertawa kecil sambil merusak tatanan rambut YoonA yang rapi.
“Hi!” YoonA menekuk wajahnya yang cemberut. “Aku tidak pernah berlatih
vocal, aku sangat benci bernyanyi. Itu sebabnya setiap ada kelas musik, aku selalu
bolos atau berpura-pura sakit. Karena setiap kali berada di kelas musik, teman-teman
selalu memintaku untuk menutup bibirku rapat-rapat agar tidak mendengar suaraku
yang cempreng dan sangat mengganggu.” Ceritanya seraya mengingat masa-masa
sekolah.
Dong Hae kembali tertawa kecil. “Bagaimana nanti kau menjadi Guru TK,
bukankah setiap harinya kau harus bernyanyi bersama murid-muridmu.”
“Aku akan melatih vokalku.” Jawab YoonA singkat dan kehabisan akal.
Dong Hae menggelengkan kepalanya tak yakin. “Aku sangat prihatin dengan
anak-anak yang nanti akan diajar olehmu.”
Hati YoonA semakin kesal, ia masih dengan raut wajahnya yang masam dan tak
lagi menyahut kata-kata Dong Hae yang sangat menyakitkan. Ia berbalik ke sisi lain
sambil melipat kedua tangannya, menghindari Dong Hae yang memohon maaf
darinya.
“Maafkan aku! Aku hanya bercanda.” Laki-laki itu memelaskan wajah
bersalahnya lalu menyenggolkan bahunya ke bahu YoonA.
“Baiklah. Kelak kau tidak boleh mengejekku lagi.” YoonA menunjukkan jari
telunjuknya untuk mengingatkan Dong Hae.
Dong Hae mengangguk cepat. “Aku tidak akan mengejekmu lagi, aku hanya akan
menghinamu saja.”
“Apa?”
“Sudah. Berhentilah cemberut.” Pinta Dong Hae.
YoonA lekas melebarkan bibirnya untuk tersenyum dengan sangat terpaksa. Ia
pun kembali memalingkan posisi duduknya menghadap piano.
“Aku sangat senang berada di tempat ini.” Ungkap Dong Hae.
“Jadi, kau sering datang ke sini?” YoonA tak percaya.
Dong Hae mengangguk untuk mengiyakan, “Saat aku sedang sedih dan tak dapat
terbendung lagi. Aku lebih memilih untuk menyendiri di sini, tepat di ruangan ini.
Terkadang aku juga bermain piano.” Ia sambil menekan beberapa tuts.
“Kukira saat kau sedih, kau akan bermain bola sepanjang hari.” Terka YoonA.
“Tentu saja tidak. Kalau disini, tak akan ada satu orang pun yang menemukanku.
Aku bisa lebih mudah untuk menenangkan diri dan melupakan semua kesedihan.”
Ungkap Dong Hae.
“Bukankah sekarang kau memberitahukan padaku tempat persembunyianmu.”
YoonA mengingatkan.
“Saat aku sedang dalam masalah yang sangat sulit untuk dipecahkan. Aku tidak
yakin kau akan datang untuk mengeluarkanku dari jurang kesedihan itu.” Dong Hae
tak pernah menyadari YoonA yang peduli padanya.
“Kau bilang apa?” Bantah YoonA segera. “Aku pasti akan datang mencarimu.
Aku akan menggunakan apapun untuk menarikmu keluar dari jurang itu. Meskipun
jurang itu sangat dalam, kalau perlu aku akan masuk ke dalamnya dan
menggendongmu naik ke atas.” Janji gadis itu dengan sangat bersemangat.
Dong Hae tertawa kecil lagi, “Benarkah itu?” Ia tampak tak yakin.
“Bukankah aku sudah berjanji akan selalu berada di sisimu. Kapanpun kau
membutuhkanku, aku datang dengan kekuatan magic dan menyelamatkanmu.”
Dong Hae tersenyum tipis, “Aku pegang janjimu.” Akhirnya.
YoonA lekas membalas senyuman itu. Matanya pun mulai melirik kesana
kemari, mengamati isi seluruh ruangan dan membiarkan Dong Hae asyik dengan
piano di hadapannya. Gadis itu tiba-tiba berdiri, Ia melangkah mendekati rak buku.
Ditemukannya peralatan menggambar, ada crayon, pensil, juga penghapus. Ia kembali
mencari penggaris dan buku gambar yang dengan mudah di dapatkannya.
“Bagaimana kalau sekarang kita menggambar?” Ajak YoonA.
Dong Hae menghentikan permainan pianonya. “Menggambar?” Ia tampak tak
berminat.
“Ayolah!” YoonA segera menarik lengan laki-laki itu tanpa segan. Ia menarik
Dong Hae menjauh dari piano dan memintanya untuk duduk di salah satu kursi murid
di dalam ruangan itu.
“Kursinya sempit sekali.” Gerutu Dong Hae yang dipaksa duduk di kursi yang
sangat kecil.
“Sekarang kau jadi muridnya, sementara aku akan menjadi gurunya.” Perintah
YoonA lalu meninggalkan Dong Hae di meja yang khusus untuk anak kecil itu. Ia pun
melangkah gontai dan duduk di meja guru. “Aku beri waktu 15 menit, gambar apapun
yang kau suka.” Ucapnya lantang.
Dong Hae menggeram kesal, “Aku sangat benci menggambar.” Gerutunya.
Sejenak ia mulai berpikir, lalu mengeluarkan kemampuannya berimajinasi dan
menuangkannya ke dalam buku gambar kosong yang disediakan YoonA. Ia tampak
begitu serius menggambar sesuatu masih dirahasiakannya. Sesekali Ia menengok
YoonA yang terus memperhatikannya.
“Apa sudah selesai?” Tanya YoonA.
“Sudah!” Teriak Dong Hae memberitahukan.
YoonA lekas berdiri, Ia sangat penasaran dengan apa yang terlukis di atas
halaman buku gambar itu. Sekejap rautan wajahnya berubah lirih, Ia pun tersenyum
perih melihat hasil kerja Dong Hae.
“Kenapa kebanyakan orang hanya bisa menggambar dua buah gunung, lalu ada
jalan di bawahnya. Di sekitarnya ada sawah sejauh mata memandang, ditambah awan
dan juga matahari.” Sekarang giliran YoonA yang mengeluarkan kemampuannya
dalam mengejek.
“Bukankah ini pemandangan yang sangat bagus.” Dong Hae membanggakan
dirinya.
“Coba lihat!” YoonA merampas buku gambaran itu dari tangan kanan Dong Hae,
“Mana ada bentuk matahari seperti kacang begini. Awannya juga sangat kacau,
sawahnya seperti cakar ayam. Apa ini yang kau sebut pemandangan.” Ia
melemparkan ejekannya sambil menggelengkan kepalanya. “Dan lagi masih banyak
objek lain, tidak hanya pemandangan saja. Misalnya pesawat, kupu-kupu, bunga,
capung.” Tambahnya lagi.
Dong Hae lekas melototkan matanya ke arah YoonA yang coba mengejek
gambarannya. “Kembalikan!” Ia berdiri dan merampas gambarannya kembali. “Aku
paling benci menggambar.”
“Maafkan aku!” YoonA lekas terdiam mendapati Dong Hae yang marah padanya.
“Tadi kau menghinaku karena suaraku jelek. Sekarang kau kena karmanya sendiri.”
YoonA pun menutup mulutnya rapat-melihat wajah masam Dong Hae.
Pertengkaran mereka terhenti seketika mendengar langkah kaki seseorang yang
berada di luar sana. Dong Hae segera mematikan lampu dan menarik tangan YoonA.
Mereka segera bersembunyi di bawah meja guru dan menutup mulut mereka disana.
Seorang penjaga sekolah memeriksa ruangan itu, Ia membuka pintu lalu
menyalakan lampu. Ia tak juga menaruh curiga dan kembali mematikan lampu.
Kemudian menjauh untuk memeriksa ruangan lainya.
Dong Hae mengambil langkah seribu, Ia masih dengan menggenggam erat tangan
YoonA. Mereka mengendap-endap keluar dari ruangan itu. Mereka mempercepat
langkah mereka agar tidak tertangkap. Tiba-tiba penjaga yang masih berkeliaran itu
memergoki mereka. Tanpa pikir panjang Dong Hae berlari dengan sangat cepat
bersama YoonA. Mereka tak peduli pada penjaga paruh baya yang meneriaki mereka.
Mereka terus berlari menembus angin malam yang semakin dingin dan
membekukan tubuh. Mereka menghindari kejaran penjaga itu dengan mengerahkan
seluruh kekuatan yang mereka miliki.
“Wa . . .” YoonA berteriak saat mereka hampir saja menabrak tiang besar, tapi
sedikitpun ia tak merasa takut karena Dong Hae ada untuk melindunginya.
“Sebentar lagi kita akan sampai.” Dong Hae menenangkan sambil mengejipkan
sebelah matanya.
YoonA tersipu malu dan lekas membalasnya dengan senyuman kecil. “Sekali lagi
terimakasih untuk hari ini, Tuhan.” Ucapnya dalam hati.
Mereka berlari menuju pintu gerbang yang terbuka dan bergegas menuju motor
scooter yang terparkir tak jauh dari sekolah TK. Dong Hae lekas memasangkan helm
ke kepala YoonA, Ia pun siap melajukan motor itu ke jalan raya setelah memasang
helm untuk melindungi kepalanya.
Dong Hae menyalakan mesin motor dan membiarkan dirinya untuk mengendarai
SunShine. YoonA yang duduk di belakang, dibonceng olehnya segera berpegangan
erat di pinggangnya saat motor melesat cepat di jalan raya. Sekejap mereka menjauh,
bayangan mereka pun menghilang di balik kabut.
“Bukankah tadi Pak Lee Dong Hae, kenapa dia lari ketakutan seperti itu?” Pikir
Pria tua yang masih menyalakan senternya sambil menggelengkan kepalanya heran.
“Siapa gadis yang diajaknya kemari?” Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan.

“Oweee …” Teriak Dong Hae melepaskan seluruh beban di pundaknya.
“Bukankah hari ini sangat menyenangkan Nona Im YoonA?”
YoonA lekas menganggukan kepalanya, sesekali ia membenarkan posisi
helmnya. “Tentu saja. Hari ini sangat menyenangkan.” Sahut YoonA. Tak ada satu
pun di dunia ini yang bisa memberikan kebahagian seperti waktu itu selain Dong Hae.
Pertemuan mereka di hari pertama, membuat YoonA berpikir bahwa tak mungkin
Dong Hae bisa berada di dekatnya seperti saat itu. Meskipun sangat mustahil bisa
memiliki hatinya, tapi YoonA tak juga mau berputus asa. Kebahagian bukanlah
memiliki seseorang yang kita cintai, melainkan melihat orang yang kita cinta bisa
tersenyum bahagia karena kita.
Motor scooter itu terus melaju di jalan raya yang sepi. Mereka kembali melalui
padanya ilalang yang tinggi, tempat dimana binatang-binatang kecil berpesta di
sekitarnya. Binatang-binatang itu saling bersahutan dengan suara mereka untuk
meramaikan suasana malam.

Beberapa peralatan tulis telah tersedia di atas meja bundar. Para pemilik saham
berdatangan memasuki ruang rapat. Mereka mulai duduk memenuhi bangku-bangku
kosong. Seorang office boy datang untuk menyajikan kopi dan teh sesuai pesanan
orang-orang penting di perusahaan itu.
Dong Hae bersama sekretaris wanitanya ikut memenuhi panggilan untuk rapat
mengenai laporan bulanan.
“Ada sedikit kesalahan pada laporan keuangan, beberapa diantara laporan itu ada
yang tidak sesuai dengan data.” Dong Hae dengan tegas membuka rapat. Semua mata
pun tertuju padanya, mereka mendengar dengan seksama tiap kata yang
diucapkannya.
Hyuk Jae yang bertugas membuat laporan itu tampak terkejut. Ia merautkan
wajah bingung tak bersalahnya pada Dong Hae yang menatap tajam dengan
mengernyitkan dahi ke arahnya.
“Aku sudah memeriksa laporan itu sebelum menyerahkannya padamu, Dong
Hae.” Hyuk Jae dengan bahasa informal yang biasa diucapkan pada sahabatnya itu
lekas terhenti untuk memperbaiki kata-katanya. Ia mengeringkan tenggorakannya,
“Maksudku, Sebelum menyerahkan laporan itu pada Anda. Saya sudah memeriksanya
terlebih dulu.” Ia tampak kacau mengatur kalimat.
“Apa kau yakin? Seharusnya kau memeriksa dengan lebih teliti lagi. Bagaimana
kalau tim Audit datang dan melihatnya. Apa kau mau bertanggung jawab?” Dong Hae
dengan nada dingin. “Kau periksa lagi laporan ini.” Ia melemparkan berkas itu ke
hadapan Hyuk Jae yang menatapnya heran. “Sebelum pulang kerja kau harus
menyelesaikannya dan menyerahkan kembali padaku. Aku tidak ingin ada kesalahan
lagi.” Ia mengingatkan.
“Baik Pak!” Hyuk Jae merapikan berkas laporan yang berserakan.
“Untuk sementara rapat kita tunda dulu sampai besok.” Akhir Dong Hae. Ia pun
melangkah pergi sambil merapikan jasnya. Di belakangnya, sang sekretaris dan
asisten pribadinya pun segera mengikuti keluar dari ruang rapat.
“Aneh sekali! Ada apa dengan Pak Lee hari ini? Apa kau lihat matanya yang
menyeramkan itu.” Seorang wanita yang berdiri di sudut ruangan berbisik pada teman
kerja laki-lakinya.
“Aku sendiri juga tidak mengerti. Tidak biasanya dia terlihat menakutkan begitu.
Ini kali pertamanya aku melihat sikapnya yang begitu tak biasa.” Sahut Laki-laki itu.
Mereka pun berjalan pelan sesaat setelah semua pemegang saham berlalu pergi.
Mereka melangkah gontai mendekati Hyuk Jae yang masih duduk untuk meniliti
laporan miliknya.
“Apa sebenarnya yang terjadi?” Tanya wanita dengan kaca mata tebal itu dengan
penuh penasaran pada Hyuk Jae yang tak juga menggubrisnya.
“Biasanya kesalahan sebesar apapun Pak Lee pasti memaafkanmu karena kau
adalah sahabat baiknya. Tapi kenapa hari ini dia begitu dingin padamu? Kau tahu
sendiri kalau Pak Lee marah, bangunan kokoh gedung ini bisa runtuh seketika karena
teriakannya.” Laki-laki yang juga merupakan teman seruangan Hyuk Jae, segera
duduk disampingnya untuk mencari tahu.
Hyuk Jae hanya terdiam sambil menekuk wajah kusutnya. “Mungkin Dong Hae
sedang ada masalah. Sepertinya ini memang kesalahanku karena kurang teliti.” Ia
menyadari kesalahannya. Ia pun lekas memasukkan semua berkas itu ke dalam map,
dengan wajah yang semakin kusut Ia pun keluar dari ruangan.
Laki-laki dan wanita yang dari tadi menginvestigasinya terus menatap
punggungnya yang berlalu pergi. Terlihat jelas banyak pertanyaan dalam benak
mereka.

Jalanan begitu sepi, terowongan di sekitar bangunan pun tampak sangat gelap.
Tak satupun lagi pelanggan yang berlalu lalang di sekitar butik. Hyo Yeon menghela
napasnya, wajahnya kusut karena terus memikirkan rancangan gaun yang dipesan
para pelanggan.
Ia lekas mematikan lampu papan nama butiknya, lalu menutup rolling door
dengan sangat hati-hati. Ia pun kembali masuk ke butik yang sudah tutup itu untuk
meneruskan desain gaun pengantin yang dirancangnya sendiri.
Ia mengambil beberapa contoh kain koleksinya lalu mencocokkannya dengan
kain lain yang sudah disiapkannya. Ia tampak begitu sibuk sampai-sampai tak peduli
pada Hyuk Jae yang duduk di sopa panjang sambil memainkan game dari handphone.
“Apa kau masih sangat lama Hyo Yeonni?” Hyuk Jae dengan panggilan
sayangnya.
“Sebentar lagi. Sekarang pikiranku sedang sangat fresh, sangat baik untuk
mendesain gaun pengantin di saat seperti ini.” Hyo Yeon tanpa menoleh ke arah
kekasihnya, Ia begitu asyik pada buku dan pensil yang digunakannya untuk
mendesain. Ia tak juga merasa lelah meski sudah hampir setengah jam berdiri di
bawah lampu terang sambil terus memperbaiki rancangannya.
“Kenapa kau tidak meminta orang lain saja yang merancang gaun pengantin
untuk pernikahan?” Hyuk Jae menghentikan permainan gamenya yang membosankan.
“Sebagai seorang perancang gaun pengantin, aku lebih percaya pada
kemampuanku sendiri. Lagipula sejak awal mengambil jurusan designer, tujuan
utamaku adalah ingin membuat semuanya sesuai keinginanku.” Ungkap Hyo Yeon
dan kali ini ia melemparkan senyum manisnya pada Hyuk Jae yang merautkan wajah
cemberutnya.
“Kau pasti belum makan malam ‘kan?”
“Sebentar lagi.” Sahut Hyo Yeon.
“Sekarang sudah hampir jam 8. Ayolah kita makan, perutku sudah sangat lapar.”
Hyuk Jae merengek lalu bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Hyo Yeon.
“Bagaimana kalau kita pesan makanan catering saja?” Hyo Yeon
memberitahukan idenya.
“Aku ingin kita makan bersama di luar.” Hyuk Jae tiba-tiba melingkarkan kedua
tangannya dengan mesra di pinggang kekasihnya itu.
“Hi! Hyukie, kau membuatku tidak konsentrasi saja.” Hyo Yeon tampak risih.
“Ayolah kita makan di luar!” Ajak Hyuk Jae dan masih memeluk dengan erat
Hyo Yeon dari belakang.
“Baiklah.” Hyo Yeon meletakkan pensilnya di ikuti Hyuk Jae yang melepaskan
pelukannya dan membiarkan gadis itu mengambil baju hangat yang digantung di
belakang pintu. “Bagaimana hubunganmu dengan Dong Hae? Semuanya baik-baik
saja bukan?” Ia berbasa-basi sambil memasang baju hangat ke tubuhnya.
Raut wajah Hyuk Jae berubah seketika, “Tadi di kantor dia memarahiku.”
Ceritanya.
“Aneh sekali. Selama ini dia tidak pernah marah sedikitpun padamu.” Hyo Yeon
begitu heran.
“Aku sendiri juga tidak mengerti.” Hyuk Jae merautkan wajah kusutnya.
“Hi!” Hyo Yeon tiba-tiba memegangi ke dua pipi kekasihnya itu, “Bukankah tadi
My Hyukie sangat lapar. Sekarang perut Oppa pasti sedang berdendang minta di beri
makan.” Ia coba menghibur.
Hyuk Jae segera tersenyum tipis menemukan Hyo Yeon yang selalu bisa
membuatnya melupakan tiap masalah yang datang. “Benar. Aku memang sangat
lapar.” Ia mengangguk cepat.
Hyo Yeon tanpa ragu memegangi tangannya, lalu menarik pria yang sangat
dicintainya itu keluar dari butik dimana lampu seluruh ruangannya sudah dimatikan.
Tak lupa Ia mengunci dengan gembok besar pintu, sebelum melangkah lebih jauh
menuju salah satu rumah makan favorit mereka.
Tangan mereka saling berpegangan, kaki mereka melangkah seirama di tepian
jalan raya. Sesekali mereka saling menatap dengan lembut dan tertawa kecil.
Pasangan kekasih yang siap untuk menikah itu selalu saja membuat orang di sekitar
mereka merasa iri.
Mereka terus melangkah melewati lampu hias yang dipasang di tiap pohon yang
berdiri berjejer sepanjang tepian jalan kota Seoul. Pemadangan kota itu terlihat indah
dan semakin indah saat terlihat dari ketinggian.

Ia kembali membalik halaman sebelumnya dan memeriksa lagi catatan
resumannya. Sesekali Ia membenarkan posisi kacamata minus yang bingkainya
berwarna kuning, warna favoritnya.
Im YoonA terus membaca dan mencatat tiap hal penting yang mungkin akan
keluar saat ujian masuk kuliah nanti. Ia tampak mulai lelah, perlahan
menggerepokkan leher dan jari-jemarinya. Ia berdiri untuk mengencangkan ototototnya
yang kaku.
Sepintas Ia menatap jam dinding yang di gantung begitu tinggi, berhadapan
dengan tempat tidurnya. “Sudah jam 4 sore.” Ia tampak terkejut. “Waktu begitu cepat
berlalu, padahal tadi sepertinya masih jam 1.” Pikirnya.
Tanpa pikir panjang Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Tubuhnya
telentang menatap langit-langit kamar. “Dong Hae sudah pulang kerja atau belum
ya?” Tanpa sadar Ia merindukan tetangga yang tinggal di sebelah apartmentnya itu.
Pabo … Dong Hae saja belum tentu sedang memikirkanku saat ini.” Ia lekas
memukul dengan keras kepalanya. “Ah …” Ia segera meraih whiteberry di bawah
bantalnya. “Aku baru ingat! Di sekolah taman kanak-kanak waktu itu aku dan Dong
Hae berphoto bersama.” Ia segera menuju galeri dan melihat beberapa photo terbaru
yang berhasil diabadikannya. Ia membuka kembali kenangan-kenangan indahnya
bersama Dong Hae saat mereka bermain piano dan bernyanyi bersama.
Tampak di layar kecil itu YoonA yang berpose sign peace dan Dong Hae yang
memonyongkan bibirnya. Mereka tampak sangat serasi dan cocok satu sama lain.
Gadis itu pun mulai menggerakkan keypad menuju photo berikutnya. Muncul photo
YoonA yang tengah cemberut sambil melipat kedua tangannya, disampingnya Dong
Hae tampak menggeram kesal.
“Aku baru sadar kalau Dong Hae dan aku sangat mirip.” Pikirnya. “Mata kami,
cara kami tersenyum. Apa mungkin kami memang berjodoh.” Ia tersenyum lebar.
“Pabo, pabo …” Ia kembali memukul kepalanya lalu membalikkan tubuhnya yang
bertiarap untuk berbaring sejenak sambil menatap plafon kamar. “Aku sangat bodoh,
jatuh cinta dengan orang yang tidak mungkin kumiliki.” Ia menghela napasnya.
Ia kembali melihat-lihat photo Dong Hae yang khusus tersimpan di salah satu
folder pribadi di kartu memorinya. Ia memperhatikan dengan seksama tiap ekspresi
wajah lelaki pujaannya yang selalu berubah sesuai dengan suasana hati.
YoonA menggerakkan dengan cepat roll keypad, Ia tak henti-hentinya
memandangi tiap photo yang muncul silih berganti. Tampak kapasitas memori yang
berlebihan, photo-photo itu muncul secara perlahan dan tak pasti. Tiba-tiba
whiteberry kesayangannya itu mati dan tak dapat dihidupkan kembali.
“Apa yang terjadi?” Gadis itu coba menyalakan kembali soulmatenya. “Tidak
boleh. Tidak boleh!” Teriakannya menggema seisi ruangan. Ia begitu cemas semua
data yang tersimpan hilang. “Bagaimana sekarang? Photo-photo Dong Hae yang
berharga.” Ucapnya. Ia lekas lompat dari ranjangnya dan tak putus asa untuk
menghidupkan kembali whiteberry yang rusak itu. Ia pun mendengus kesal lalu
melemparkan benda berwarna putih itu ke atas tempat tidur. “Menyebalkan sekali!”
Serunya. Ia lekas mengambil whiteberry itu lagi, lalu mencabut memory card di
dalamnya. “Sebaiknya aku minta bantuan Dong Hae saja untuk menyimpan data di
dalamnya sementara waktu.” Ia sangat putus asa. “Kenapa juga aku meninggalkan
laptop di rumah dan lupa membawanya ke Seoul?” Maki gadis itu pada dirinya
sendiri.

Ia segera memasang sandal yang begitu imut dan lucu , dihiasi boneka beruang
kecil yang kepalanya menonjol di permukaan sandal. YoonA segera keluar dari
apartmentnya yang sejuk dan nyaman untuk menunggu Dong Hae pulang dari tempat
kerja. Ia berdiri mondar-mandir di depan lift, sambil sesekali melihat jam di tangan
kirinya. Ia terus berdiri di sekitar koridor apartment sambil melipat ke dua tangannya.
Terdengar suara pintu lift yang terbuka, Ia bergegas untuk menengok siapa yang
datang. Ia berlari dengan cepat menyambut orang yang belum tentu Dong Hae.
“Eonni!!” Serunya dengan nada terkejut pada Hyo Yeon yang keluar dari lift
bersama dengan tas kecil yang menggantung di bahunya.
“Sepertinya kau sedang menunggu kedatangan seseorang.” Terka Hyo Yeon
sambil menyikut perut YoonA dan menggodanya.
“Kebetulan tadi aku ingin keluar. Tidak disangka bertemu Eonni disini.” Bantah
YoonA segera.
“Aku ingin mengantarkan undangan pertunanganku dengan Hyuk Jae.” Hyo
Yeon menyerahkan dua lembar undangan ke tangan YoonA.
“Pertunangan? Kupikir Eonni akan mengantar undangan pernikahan.” Sekarang
giliran YoonA yang coba menggoda gadis itu.
Hyo Yeon tertawa kecil, “Aku dan Hyuk Jae akan bertunangan dulu. Lagipula
masih banyak persiapan yang masih belum selesai untuk pernikahan kami.” Jelasnya.
YoonA hanya mengangguk.
“Jangan lupa serahkan undangan itu untuk Dong Hae. Satu untukmu satu
untuknya, hanya orang-orang yang memegang kartu undangan yang dapat masuk.”
Jelas Hyo Yeon lagi. Ia berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam,
“Beberapa hari yang lalu Hyuk Jae dan Dong Hae bertengkar kecil, itu sebabnya aku
menitipkan kartu undangan padamu. Aku minta Hyuk Jae agar aku saja yang
mengantar undangan langsung ke rumahnya.” Ia memberitahukan dengan santai.
“Kau harus berhasil mengajaknya pergi.” Pintanya.
“Hyuk Jae dan Dong Hae bertengkar? Kenapa?” YoonA tampak khawatir.
“Pertengkaran antar sesama pria. Itu bukanlah masalah besar.” Hyo Yeon
kembali tertawa kecil.
“Apa Dong Hae terluka?” Pikir YoonA. Ia terdiam sambil menyembunyikan
perasaannya yang mulai cemas. “Kemarin aku tidak bertemu dengannya, begitu juga
pagi ini.” Batinnya, “Seharusnya aku lebih sering lagi menunggunya di depan lift.
Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Dong Hae.” Ia menyalahkan dirinya sendiri.
“Aku tidak bisa berlama-lama disini. Langit sudah mulai gelap, aku harus segera
menutup butik.” Hyo Yeon masih dengan suaranya yang lembut tapi tampak tergesagesa.
“Aku pulang dulu. Jangan lupa pestanya lusa nanti, kau harus mengajaknya
pergi.” Hyo Yeon memperingatkan. Ia pun segera membungkukkan punggungnya
pada YoonA.
YoonA lekas membalas dengan membungkuk punggungnya juga.
Serentak mereka meluruskan tulang belakang mereka, dan tersenyum tipis satu
sama lain. Hyo Yeon pun beranjak pergi sambil mengebelakangkan rambut
panjangnya yang terurai, sekejap gadis itu menghilang dari balik pintu lift.
YoonA menghela napasnya, Ia melangkah pelan lalu berdiri sejenak sambil
memandangi jalan raya melalui kaca tebal di koridor apartment. Tatapan matanya
kosong, ia tak peduli dengan mobil yang melintas di jalanan, Ia juga tak menyadari
langit yang semakin gelap dan lampu-lampu dinyalakan untuk menerangi tiap sudut
kota. Pikirannya melayang, Ia cemas pada Dong Hae yang masih belum juga pulang
untuk menampakkan diri. “Dimana Dong Hae sekarang?” Tanya dalam benaknya. Ia
masih memijakkan kakinya berdiri di lantai koridor sambil melipat ke dua tangannya.

Sesekali ia tertawa kecil, senyum melebar di bibir manisnya. Ia duduk di atas
bebatuan besar dan matanya tak berhenti menatap seorang anak laki-laki yang masih
berusia sekitar 7 tahun bermain bersama ayahnya di pusat taman.
Mereka berkejar-kejaran mengelilingi air mancur dan terus saling berkejaran
tanpa mengenal lelah. Tawa mereka yang lepas menghiasi suasana malam saat itu.
Dong Hae kembali tersenyum, mereka yang begitu gembira mengingatkannya pada
sang Ayah yang telah tiada.
Pikirannya sejenak kembali ke masa lalu, dimana Ia masih bersama dengan ayah
tercintanya. Saat itu Dong Hae duduk di pinggiran sungai sambil memegangi pancing.
Ayahnya berlari dari kejauhan untuk membawakan umpan yang akan mereka gunakan
memancing ikan di laut.
“Appa, kenapa lama sekali?” Dong Hae tampak kesal karena tangannya mulai
lelah memegangi pancing yang sangat panjang dan lebih besar dari tubuh kecilnya.
“Dong Hae, tadi Ibumu membuatkan makan siang dulu untuk kita. Dia tidak mau
kita kelaparan.” Jelas Ayah.
“Benarkah? Kebetulan sekali aku memang sangat lapar.” Dong Hae menyambut
gembira. Ia lekas meraih bekal yang dibawakan ayahnya. “Bagaimana dengan Appa?
Appa pasti lapar juga ‘kan?”
“Appa masih belum lapar. Kau makan saja dulu.”
“Kalau begitu, kita nanti saja makannya. Aku hanya ingin makan bersama Appa.”
Dong Hae yang lugu dan tak berdosa menolak untuk makan lebih dulu.
Tuan Lee tertawa kecil, ia pun lekas tersenyum hangat sambil membelai dengan
penuh kasih sayang rambut anaknya itu.
“Kelak kalau kau sudah dewasa, Appa ingin kau meneruskan perusahaan saja.”
Pinta Tuan Lee.
“Tapi aku sangat ingin menjadi pemain sepak bola, Appa.” Dong Hae segera
menolak dengan sangat polos.
“Menjadi pemain sepak bola itu sangat sulit. Ada banyak sekali ujian yang harus
kau tempuh, juga akan bersaing dengan banyak orang yang lebih hebat darimu. Appa,
tidak mau kau kecewa.”
“Aku akan terus berusaha agar bisa menjadi pemain yang paling hebat.” Dong
Hae bersemangat.
Tuan Lee lekas membelai lembut rambut anak bungsunya itu kembali, “Baiklah,
Appa akan selalu mendukung apapun yang terbaik untukmu.”
Selintas ingatan itu muncul dalam benaknya, Dong Hae kembali terdiam, bibir
senyum sudah tak lagi singgah di wajahnya. Ayah dan anak laki-laki yang tadi
bermain di taman sudah beranjak pergi seiring Ibunya datang. Rautan wajah Dong
Hae berubah, Ia kembali muram dan tampak begitu sedih. Matanya berkaca-kaca, air
mata selalu saja dengan mudah menetes untuk menemani setiap kali kenangan masa
lalu datang menyapa.
Ia segera menghapus air mata yang membasahi pipinya, Ia lekas meminum
sekaleng soft drink untuk mendinginkan pikirannya. Ia menarik napasnya dalamdalam
dan membiarkan angin menerpa wajahnya yang mulai berkeringat. Ia
menghentikan tegukan berikutnya, menemukan kaleng soft drink telah kosong, habis
diminum olehnya.
“Hi!” Seorang gadis dengan suara yang tak asing lagi memanggilnya.
Dong Hae lekas menengok ke belakang. Ia lekas tersenyum tipis melihat YoonA
yang berdiri di samping pohon besar, gadis itu mengenakan rok sepanjang lutut dan
tak lupa untuk melindungi dirinya dari udara yang begitu menusuk dengan sweater.
“Sejak kapan kau berdiri di sana?” Tanya Dong Hae.
“Baru saja.” YoonA terengah-engah. Ia lekas duduk di samping Dong Hae.
“Untukmu!” Ia sambil menyerahkan sekaleng soft drink.
“Bagaimana mungkin kau tahu aku disini?” Dong Hae mulai heran.
Sekarang giliran YoonA yang tersenyum kecil lalu meneguk soft drink miliknya
sendiri. “Tentu saja, hampir satu jam aku menunggumu di koridor apartment.
Beruntung aku segera turun dan menemukanmu disini.” Benaknya bergumam.
“Ku dengar dari Hyo Yeon Eonni, kau dan Hyuk Jae bertengkar. Apa kalian
saling memukul karena gadis itu?” Terka YoonA.
Dong Hae mendengus, “Tentu saja tidak, mana mungkin aku memukulnya. Aku
hanya sedikit memarahinya karena masalah pekerjaan.” Jelas Dong Hae.
“Syukurlah.” YoonA bernapas lega. “Kupikir dia memukulmu dan merusak
wajahmu yang tampan itu.” Ucapnya tanpa sadar.
“Apa kau bilang?” Dong Hae yang tak mendengarnya dengan jelas meminta
YoonA untuk mengulangi.
“Tidak apa-apa.” YoonA tersenyum simpul. “Oh ya, tadi Eonni memintaku
memberikan undangan ini untukmu.” Ia sambil menyerahkan selembar kartu
undangan untuk Dong Hae.
“Undangan?” Dong Hae mengernyitkan dahinya lalu menerima undangan itu.
“Itu undangan pertunangan Eonni dan Hyuk Jae. Dia memintaku agar
membujukmu pergi bersamaku. Kau tidak boleh melewatkan pesta pertunangan
sahabatmu.” Tegas YoonA.
“Aku sangat benci pesta.” Sahut Dong Hae.
“Bagaimana pun juga kau harus datang. Kalau kau tidak mau, aku akan
menggedongmu lalu memoboncengmu naik motor scooter datang ke pesta itu.”
Ancam YoonA.
“Memangnya kau kuat menggendongku?” Dong Hae ragu.
“Tentu saja. Aku Im YoonA, wanita terkuat di seluruh jagat raya.” YoonA
mengepalkan tangannya dan terlihat sangat bersemangat.
Dong Hae tertawa kecil melihat tingkah konyol YoonA.
“Satu hal lagi.” YoonA baru ingat whiteberry-nya yang rusak. Ia lekas
mengeluarkan whiteberry yang bersembunyi di saku sweaternya.
“Kenapa?” Dong Hae terus saja merautkan wajah bingung.
“Kau pasti tahu tempat service HP di seoul, bukan?” YoonA tampak memelas,
“Aku perlu sedikit bantuanmu.” Ia memperlihatkan whiteberry-nya itu pada Dong
Hae.
“Ada apa dengan whiteberry-mu? Apa kau melemparnya sampai tidak mau hidup
seperti ini.” Ejek Dong Hae.
“Tadi aku hanya bermain dengannya. Tiba-tiba saja mati, aku sendiri tidak tahu
apa yang terjadi.” Jelas YoonA. “Tolong amankan data-data di memory card-nya.”
Pintanya.
“Mana memory cardnya?” Dong Hae yang membuka penutup baterai mencari
keberadaan benca kecil tipi situ.
“Ini.” YoonA mengambilnya lagi dari saku sweater lalu menyerahkannya tanpa
ragu.
“Baiklah. Aku akan mengirimkannya ke tempat service besok.” Dong Hae
mengiyakan.
Mereka pun lekas menyulangkan kaleng softdrink mereka dan bersamaan
meminumnya.
“Apa sebaiknya besok aku pergi ke salon?” Desis YoonA sambil memegangi pipi
kanannya. “Aku harus tampil cantik saat di pesta nanti.”
“Tidak perlu. Seperti ini saja kau sudah sangat cantik.” Dong Hae melemparkan
pujiannya.
YoonA terdiam, pipinya merona merah. “Benarkah?” Ia terdengar begitu
gembira.
“Sangat cantik diantara kumpulan para Nenek yang sudah lanjut usia.” Dong Hae
melanjutkan kata-katanya untuk memancing emosi YoonA.
“Apa!!” YoonA berteriak melengking. Ia menggeram kesal tapi tak berani
melototkan matanya pada Dong Hae.
“Aku bercanda. Kau jauh lebih cantik tanpa make up yang berlebihan” Dong Hae
segera tersenyum untuk meredakan emosi gadis itu.
YoonA pun lekas tersenyum. “Benarkah?” Ia meyakinkan.
Dong Hae pun mengangguk.
Gadis itu terlihat begitu senang, seperti baru mendapatkan undian. “Selalu saja
seperti ini. Meskipun dia selalu mengejekku, tapi aku tak pernah bisa marah
padanya.” Batinnya.

Aula yang berukuran cukup besar dan mampu menampung lebih dari 300 orang,
terletak tepat di samping pavilyun. Aula itu sudah dihias dengan berbagai macam
pernak-pernik pesta. Orang-orang tampak begitu sibuk menyiapkan segala macam
yang diperlukan untuk pesta yang sebentar lagi akan dimulai.
Hyuk Jae mendongak ke atas melihat langit-langit aula yang sudah dipasangi
lampu hias besar dan tampak sangat mewah.
“Bagaimana menurutmu?” Tanya Hyo Yeon yang merupakan otak yang
mendesign ruangan itu.
“Sangat indah!!” Hyuk Jae menjawab singkat. Ia tampak begitu berat hati untuk
mengatakannya, “Baiklah, aku merasa ini sangat berlebihan.” Ucapnya segera.
Hyo Yeon tercengang dan segera menatap matanya. “Berlebihan? Ini semua
untuk pesta pertunangan kita. Aku ingin semuanya perfect.” Sahutnya tanpa ragu.
“Hanya saja ini terlalu mewah.” Hyuk Jae melihat ke sekeliling aula. Dimanamana
ada bunga yang dipajang di tiap sudutnya, lampu kelap kelip yang siap
dinyalakan. “Aku bahkan sempat berpikir agar kita langsung menikah saja. Dengan
begitu kita tidak akan menghambur-hamburkan uang untuk hal yang percuma.”
Jelasnya.
Hyo Yeon coba menahan emosinya, Ia lekas menyenggol Hyuk Jae. “Kenapa
tiba-tiba saja berpikir untuk segera menikah? Apa kau sudah tidak sabar lagi untuk
bulan madu.” Godanya.
“Tentu saja bukan.” Pipi Hyuk Jae tampak memerah.
“Ayolah mengaku Hyukie!!!” Hyo Yeon terus saja menggodanya.
“Aku hanya tidak suka saja kita menghambur-hamburkan uang.” Ia pun segera
beranjak pergi untuk menghindari Hyo Yeon.
“Sudahlah, kau pasti sudah tidak sabar lagi untuk pergi bulan madu.” Hyo Yeon
dengan guyonan berlari mengejarnya.
Beberapa orang yang berada di dalam aula tampak memperhatikan pasangan
kekasih yang selalu saja bercanda dan melempar tawa itu.

YoonA melihat dirinya ke dalam cermin di depannya, Ia memonyongkan
bibirnya untuk sejenak berpikir disana. “Sebaiknya seperti apa aku harus menata
rambutku? Dibiarkan terurai, digulung ke atas, diberi pita, atau apa?” Ia tampak
begitu sibuk hanya untuk masalah rambut.
Ia pun membiarkan saja rambutnya terurai, lalu mengganti baju kaos yang tadi
digunakannya dengan gaun hitam yang akan dikenakannya ke pesta. “Sangat muram,
apa aku akan pergi ke pemakaman.” Ia menggelengkan kepalanya. Ia segera
mengambil gaun berwarna keemasan dan mencobanya. Ia kembali melihat dirinya
lewat cermin, “Kurasa ini sangat cocok dengan gemerlapnya pesta.” Ia menggangguk.
“Aku akan mengenakan ini saja.” Ia sampai pada keputusan final untuk gaun yang
akan menutupi tubuhnya.
Ia lekas melapisi bibir tipisnya dengan lipstick berwarna merah muda, lalu
membedaki wajahnya dan memberikan sentuhan merah pada pipinya. Tak lupa
memberikan eye shadow di sekitar mata besarnya lalu bulu matanya di beri maskara.
“Selesai!” Ucapnya penuh kepuasan, melihat dirinya yang sudah tampak cantik.”
Ia pun menepuk kedua pipinya agar terlihat kencang.
“Aku tidak yakin Dong Hae sudah siap. Sejak tadi pagi, dia tampak tak
bersemangat. Aku sangat mengerti perasaannya, melihat gadis yang disukainya
bertunangan.” YoonA sambil memasang sepatu high heels yang warnanya sangat
serasi dengan gaun yang dikenakanya. Gaun yang memanjang sampai bawah lutut itu
membuat tubuhnya yang tinggi terlihat anggun.
Ia segera keluar dari apartment dan melangkah gontai menuju apartment sebelah.
Tanpa segan ia membunyikan bel untuk memberitahukan keberadaannya. Ia berdiri di
sana menunggu untuk dibukakan.
Dong Hae muncul dengan wajahnya yang muram, Ia tak juga tercengang
mendapati YoonA yang sudah berdandan lebih dari satu jam agar tampak cantik dan
begitu antusias untuk pergi ke pesta pertunangan.
YoonA mengernyitkan dahinya, “Jadi kau masih belum siap juga?”
“Aku tidak mau pergi.” Dong Hae beranjak dari depan pintu.
YoonA lekas mengikutinya dari belakang. “Apa maksudmu? Jangan katakan kau
tidak mau pergi ke pesta. Hyo Yeon Eonnie dan Hyuk Jae menunggu kedatanganmu.”
Tegasnya segera.
Dong Hae lekas meneguk segela penuh air putih lalu duduk di sopa ruang
keluarga dan kembali melanjutkan menonton acara di telivisi yang sempat terhenti.
“Ayolah! Bagaimana pun juga kau harus pergi.” YoonA menarik paksa lengan
Dong Hae.
Dong Hae tak menggubris, YoonA tetap saja menariknya menjauh dari ruang
keluarga.
“Dimana lemari pakaianmu?” Ia segera melirik ke sekitar apartment.
“Tentu saja di kamarku.” Jawab Dong Hae singkat.
YoonA segera menariknya masuk ke kamar, gadis itu tanpa ragu membuka
lemari pakaian yang berisi penuh dengan jas dan kemeja. Disamping lemari itu
terdapat lemari khusus penyimpanan dasi juga berbagai macam jam tangan dengan
berbeda merk.
“Gunakan ini saja!” YoonA mencocokkan jas warna biru malam ke tubuh Dong
Hae, “Dasinya warna ini saja.” Desisnya pada dasi warna merah.
“Aku bilang aku tidak mau pergi. Apa kau tidak dengar?” Bentak Dong Hae.
Sekejap YoonA terdiam, Ia berhenti sejenak dan menatap lembut mata Dong Hae
yang paling disukainya diantara semua anggota tubuh yang dimiliki pria itu. Ia
memegangi kedua tangan besar laki-laki yang berdiri di hadapannya, “Bukankah aku
sudah berjanji akan selalu berada di sisimu. Aku akan selalu melindungimu dari
siapapun yang coba menyakitimu. Aku akan memberikan kekuatan padamu dengan
tanganku ini.” Ucapnya. “Apapun yang terjadi setelah ini, tak ada satupun diantara
kita yang tahu. Tapi satuhal yang harus selalu kau ingat, aku akan selalu ada
kapanpun untuk menemanimu.” Lanjutnya.
Dong Hae tertawa kecil, “Sejak kapan kau belajar kata-kata aneh itu.” Ia sambil
mendorong kepala YoonA dengan pelan untuk menyadarkan gadis itu.
“Apa?” YoonA tersentak. “Aku hanya coba membujukmu agar ikut ke pesta.” Ia
pun tersenyum kaku.
“Tapi kau tidak perlu mengatakan kalimat yang terdengar begitu menakutkan di
telingaku.” Dong Hae melepaskan genggaman tangan YoonA yang begitu erat.
“Hee hhee …” YoonA menyembunyikan wajahnya yang malu. “Aku tidak
menyangka reaksi Dong Hae begitu mengejutkan. Bodohnya aku! Kenapa aku harus
mengatakan semua itu padanya.”
“Kau tunggulah di luar. Aku akan bersiap-siap.” Pinta Dong Hae, tapi tampak
YoonA tak mau beranjak. “Apa kau mau tetap disini melihatku berganti pakaian?”
“Tentu saja tidak.” YoonA menggelengkan kepalanya dengan cepat dan bergegas
keluar lalu menutup pintu. Ia pun sejenak bersandar disana sambil memegangi
dadanya, Ia dapat merasakan detakan jantungnya yang sangat cepat dan darahnya
yang mengalir melebihi kecepatan pesawat jet.

Lampu hias yang begitu besar berada tepat di atas lingkaran tengah aula,
memberikan cahaya yang cukup ke seluruh sudut. Beberapa pelayan sibuk
menyajikan menu makanan yang akan disantap.
Tamu undangan pun berdatangan dan memadati aula dimana pesta
diselenggarakan. Para tamu itu berdiri di tiap sudut berdekatan dengan meja makanan
dan minuman. Mereka sangat menikmati pesta yang masih belum sampai ke puncak
acara.
Terlihat Hyo Yeon yang begitu cantik dengan gaun merah memanjang hingga
menyentuh lantai, rambutnya ditata dengan sangat rapi oleh piñata rambut
langganannya. Ia melangkah dengan penuh percaya diri karena Hyuk Jae
disampingnya. Mereka berdua tak segan untuk melemparkan senyum kepada para
tamu yang meluangkan waktunya untuk hadir di pesta pertunangan mereka.
Seketika perhatian mereka beralih pada Dong Hae dan YoonA yang baru
memasuki aula. Para tamu yang sebagian besarnya adalah para pekerja di perusahaan
dimana Dong Hae menjabat sebagai General Manager, tercengang. Mereka tak pernah
menyangka akan mendapati Dong Hae datang bersama seorang gadis yang wajahnya
seperti seorang malaikat kecil tanpa dosa dan kecantikan alami yang dimilikinya
membuatnya semua orang terpana dan berdecak kagum ke arahnya.
“Aku tidak mengerti kenapa semua orang melihat ke arah kita?” Bisik YoonA
pada Dong Hae yang berjalan disampingnya. Ia mulai risih sambil membenarkan
gaunnya.
“Kau baru saja tiba dan masih belum banyak hal yang terjadi. Tapi sepertinya kau
sudah mulai risih dengan suasana di tempat ini.” Sahut Dong Hae dengan
mengecilkan suaranya.
Hyo Yeon yang menggandeng mesra Hyuk Jae memperhatikan dari jarak yang
tak begitu jauh dengan tempat dimana mereka berada. Ia dapat merasakan bahwa
semua mata tertuju pada tamu istimewa yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu. Ia
pun lekas tersenyum sinis pada mereka berdua. Sementara Hyuk Jae menatap tajam
mata Dong Hae, sahabat yang sudah beberapa hari tidak bertegur sapa dengannya.
“Kau tahu, aku mulai menyukai pesta ini.” Dong Hae berbisik di telinga YoonA.
Ia pun lekas menggenggam erat tangan YoonA dan melanjutkan langkah yang sempat
terhenti untuk menghampiri Hyo Yeon dan Hyuk Jae.
“Baguslah kalau kau memang mulai menyukai pesta.” Ucap YoonA dalam
hatinya. Ia pun membiarkan Dong Hae yang menariknya menuju tengah aula.
YoonA dan Dong Hae melangkah pasti, mereka tak lagi peduli dengan semua
orang yang masih menjadikan mereka sebagai objek utama. Langkah mereka semakin
cepat melewati beberapa tamu undangan yang tampak menghalangi.

-To Be Continued-

Comment ya^^


17 thoughts on “Just Stay by My Side (Part 5)

  1. makin seru momen2 yoonhae ^_^
    moga hae semakin sadar kalo yoona tuh suka banget sama dia
    ga sabar baca part berikutnya.. hae cepetan buka folder foto di memory card yoona, jangan terus2an sebel sama hyohyuk couple

    Like

  2. Omg!!! Excited sumpah!!
    Aku baca ff ini sambil cenat-cenut (•͡_ •͡”)
    Kerennnnnn banget ♡♥
    Yoonhae daebak! Ayo dong jagiya, cepetan suka sama yoona *talk to donghae ;p
    Next partnya cepetan yah :))

    Like

  3. part 6 nya mana ?Udah di bikin ?kalo belum ayo dong lanjut ya , kan yang comment nya nambah 1 .yaya aku penasaran .lanjut ya please 🙂

    Like

Leave a comment